Mohon tunggu...
Agung Laksono
Agung Laksono Mohon Tunggu... Guru - Putune mbah nun

Tulisanku terkadang kontradiksi dari yang kita imani sebagai norma selama ini tapi sebenarnya itu hanya sebuah paradoks yang merepresentasikan kehidupan dari sudut pandang yang jarang dilirik, memaknai peristiwa bukan sekedar menceritakan kejadian. Agung Laksono

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Ibu dan Dongeng Ayah, Mudik ke Halaman Rumah

24 Mei 2019   03:43 Diperbarui: 24 Juni 2019   08:27 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makna Keluarga

Banyak perdebatan ahli bahasa merngenai definis rumah halaman tapi yang kupahami bahwa yang dikatakan rumah adalah dimanapun kalian berada sejauh apapun pergi,  rumah halaman adalah tempat peristirahatan dari ribuan keletihan.

Sedangkan pulang termasuk cara untuk menghabiskan rindu padahal ia adalah suatu candu yang curang tidak pernah habis-habisnya bahkan berapapun yang penawar yang diteguk. Rasanya kau akan selalu ingin berpulang setiap saat..

Aku sudah beranjak dewasa dengan rambut yang sudah beralih sedikit demi sedikit menjadi putih, padahal jiwa masih kelam dan tak kunjung menjadi suci tapi toh, manusia bukan malaikat yang bersih dari nista dosa hanya saja aku ingin ke purwokerto bukan menebus sebuah kesalahan tapi permintaan ibu dan ayah yang datang di mimpi malam tadi.

"Nak, Ayah tidak pernah melarang anak-anaknya berfantasi di dunia dan bermimpilah menjadi besar seperti namamu semenjak kecil aku timang dengan menghadap ke langit" Ayah selalu mendongengkan tentang ribuan kisah ksatria penakluk, awalnya kunggap semua yang diceritakan beliau adalah kebohongan nyata tapi aku menyadari bahwa itu adalah doanya panjang.

"Tole, jangan lupa kopinya di minum, kalau dingin nanti tak bisa dinikmati". Dalam mimpku ibu membangunkanku dari tidur lama.

Sejak SMA aku sudah tinggal di tanah rantau, menyenangkan memang momen-momen mudik, ada banyak hal yang mengamuk di dalam dada. Bersilahturahmi dengan keluarga, bercanda tawa, memakan roti lebaran di tetangga. Dan sampai sekarang aku belum pulang. Sebenarnya ingin menceritakan perihal masa lalu tapi belum mampu mengenang kembali peristiwa itu karena hatiku masih rapuh dan kecil.

Disaat mengambil sebuah keputusan untuk memberi jarak yang jauh dengan masa lalu, Manusia tidak akan mampu itu adalah bagian darinya, solusinya hanya berdamai dengannya, kenapa manusia begitu kuat hapalannya mengingat keburukan seseorang sedangkan kebaikan sedetik berlalu sudah lupa dengan kalimat terimakasihnya. Pulang bukan suatu hal yang mudah bagi orang yang pernah terusir layaknya babi yang diarak. 

Aku paham dengan segala resiko ketika mencoba mengingat masa lalu. Aku tak sengaja mengingatnya tapi aku dipaksa untuk oleh bunga flamboyan di jalan stapak menuju rumahku.

Hujan geremis mengalir berpola di jendela kamarku, sambil menunggu berbuka, memandangi sebuah rintikan rinai dan menerka bayangan-bayangan yang memulai memudar oleh waktu, keluargaku apakah mereka masih menganggapku ?. ah apa fungsi dari pertanyaanku. Bukankah terlalu banyak di dunia ini satu soal yang memiliki ribuan jawaban. Jika mereka tetap  seperti dulu, setidaknya kerinduan ini sudah terbayar...

Malam sehabis isya, aku berangkat ke terminal giwangan, aku sudah bertekad mudik ke kampung halaman bukan karena budaya tahunan tapi ingin membangun kembali hubungan baik dengan keluarga lama.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun