Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilih Norak, Kisruh Sistem Pilpres Indonesia, dan UUD1945

18 November 2022   16:15 Diperbarui: 20 November 2022   21:42 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila. Foto Credit: Setneg.

Suhu politik terus meningkat seiring dengan semangkin mendekatnya Pilpres 2024. Capres Nasdem, Anies Baswedan banyak menyedot perhatian media dan yang terkini berita kunjungannya ke Gibran.   Ganjar Pranowo walaupun memilih diam dulu tetapi media tetap gencar memberitakannya. 

Ridwan Kamil mendapat perhatian yang cukup tinggi walaupun tidak jelas "perahu"mana yang akan "disewanya." Berita Capres potensial yang lain, Prabowo Subianto dan Puan Maharani, timbul tenggelam, naik turun silih berganti dengan cepatnya.

Asumsikan salah satu dari nama-nama diatas akan berhasil melaju sebagai Capres dan memenangkan Pilpres 2024 itu. Presiden terpilih ini jelas akan tunduk pada ketua umum gabungan parpol pengusungnya. 

Ini tidak cukup sebab biasanya banyak Parpol lain yang akan bergabung. Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin didukung oleh tujuh Parpol Senayan, secara resmi, misalnya. Pemenang Pilpres 2024 bisa didukung oleh lebih dari tujuh Parpol dan katakan saja delapan Parpol.

Presiden terpilih itu bertendensi memiliki delapan bohir, perlu berbaik-baik dengan masing-masing ketua umum Parpol pendukung pemerintahannya. Antara lain, misalnya, presiden terpilih itu perlu mengakomodasi permintaan jatah menteri kabinet. Entah kapan mimpi kabinet ramping akan terwujud. Lebih menohok lagi, terlihat tendensi yang signifikan atas gagalnya untuk mencari the best available persons in the market untuk jabatan menteri kabinet.    

Implikasinya, banyak orang lain yang seharusnya lebih baik yang tidak diberi kesempatan. Jalannya roda dan kinerja pemerintahan menjadi tidak optimal, atau, bisa saja sangat buruk. 

Kondisi yang demikian dapat diibaratkan sebagai Satu kapal dasa nakhoda. Satu kapal nakhoda kembar saja bisa menabrak karang, apalagi delapan nakhoda. Kapan kita bisa sampai ke pulau harapan, Indonesia sejahtera dan hebat?

Bangun. Bersuaralah. Kini momentumnya sudah tiba. Rombak total sistem Pilpres Indonesia. Hapus presidential threshold. Buka pintu untuk Capres independen.

Berdayakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan sederhanakan sistem perwakilan nasional (MPR) menjadi dua kamar saja. Kamar pertama, Majelis Rendah, adalah Dewan Perwakilan Rakyat seperti yang sekarang. Kamar kedua adalah Majelis Tinggi adalah gabungan dari anggota DPD dan anggota "SEMUA GOLONGAN" (ASG). 

Anggota DPR dan DPD dipilih langsung oleh rakyat, seperti biasanya. Sedangkan Anggota Semua Golongan (ASG) perlu dijamin oleh konstitusi untuk ditetapkan berdasarkan hasil undian atau lotre. Siapa saja boleh ikut undian ini sehingga semua warga negara memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai anggota Majelis Tinggi R.I 

Sistem undian atau lotre ini memungkin semua ASG tidak perlu berkomunikasi langsung dengan "Pemilih Norak." Biaya komunikasi langsung berpola door to door dengan pemilih termaksud yang menggunakan banyak sekali Tim Sukses (Timses) sangat Mahal.

Misalnya, Alm. Tjahjo Kumolo pernah mengatakan bahwa untuk berhasil seorang Caleg DPR bisa menghabiskan uang hingga Rp 46 miliar. Dalam nuansa yang sama tetapi perspektif berbeda, Prof Mahfud M.D., Menko Polhukam, baru-baru ini mengatakan bahwa sekitar 90 persen kepala daerah terpilih dibiayai oleh cukong.

Hanya golongan miliarder yang berkesempatan untuk menjadi anggota DPR atau kepala daerah. Kondisi ini jelas-jelas melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang memerintahkan negara untuk memberi kesempatan yang sama bagi semua warga negara dan semua golongan untuk duduk dalam pemerintahan. 

Keadaan yang tidak kondusif ini perlu diperbaiki. Perlu reformasi sistem politik, perwakilan, dan pemilihan umum Indonesia. Perhatian perlu difokuskan pada isu pemilih norak.

Sederhananya, entry point Reformasi Jilid Dua ada pada pemilih norak itu. Kenapa demikian?

Jawabnya adalah perlu waktu yang sangat panjang untuk mengedukasi dan meningkatkan pendapatan pemilih norak ini. Tiga puluh dua tahun Orba tidak berhasil menyelesaikan isu pemilih norak ini. Relatif tidak ada perubahan sejauh lima siklus Pemilu, 25 tahun, era Reformasi ini.

Jangan tunggu pemilih norak menjadi pemilih cakep. Jangan tunggu satu dua generasi, 25 hingga 50 tahun, lagi, jika NKRI tidak bubar seperti narasi Indonesia lenyap 2030.

Amandemen kembali UUD 1945 sekarang juga. Berikan jaminan semua golongan termasuk TNI/Polri, profesional, purnawirawan/pensiunan, guru dan dosen, buruh, UMKM, pegawai sektor pemerintah/BUMN, dan para pekerja seni dan ekonomi kreatif, memiliki wakil di parlemen nasional (MPR sekarang).

Terbitkan pasal yang menjamin Anggota Semua Golongan dipilih berdasarkan hasil undian atau lotre. Rombak total sistem perwakilan nasional dari tiga kamar seperti yang ada sekarang menjadi dua kamar seperti yang lazim di banyak negara demokrasi yang lain (apa ada negara lain yang memiliki parlemen dengan tiga kamar seperti Indonesia?). Semua UU harus lolos dua kamar parlemen dan presiden memiliki hak veto atas RUU yang sudah disetujui parlemen. Hapus Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Majulah Indonesia.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun