Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Opsi Melepaskan Jeratan Cukong Kedaulatan Rakyat Prof Mahfud M.D.

10 November 2022   17:01 Diperbarui: 11 November 2022   13:18 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Montesqueiu mengemukakan tiga cabang utama pemerintahan yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Ini lebih dikenal dengan nama Trias Politika Montesqueiu. Ketiga cabang ini harus terpisah dan mandiri namun perlu dibuat mekanisme agar ada unsur saling mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan masing-masing. Tujuan utamanya mencakup pengendalian konflik kepentingan masing-masing. 

Filusuf Yunani (warga negara Prancis) ini menginginkan ketiganya berada dalam posisi yang relatif setara dan bergerak dalam satu orkestra yang harmonis. Cabang eksekutif yang dipimpin oleh presiden, dalam sistem presidensial, perlu ada check and balance dengan cabang legislatif dan yudikatif. Ini hanya mungkin terlaksana jika masing-masing cabang itu memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dan dilengkapi dengan orang-orang dengan integritas dan kapasitas yang mumpuni.

Di Indonesia cabang legislatif itu terdiri dari unsur daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan unsur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Pemilu 2019 yang lalu jumlah anggota DPR adalah 575 orang dan jumlah anggota DPD 136 orang (1/3 jumlah anggota DPR) dan semua anggota DPR dan DPD adalah anggota MPR sehingga jumlah anggota MPR adalah 711 orang. Semua anggota legislatif itu dipilih langsung oleh rakyat.

Penyakit kronis pemilihan langsung oleh rakyat ini adalah biaya yang harus dipikul oleh Calon Legislatif tidak masuk akal mahalnya. Di zaman Orde Baru biaya ini, selentingan kita dengar, digunakan untuk "Serangan Fajar" di hari H Pemilu. 

Namun, isu ini belum terasa begitu menghimpit pada waktu itu karena, antara lain, berkemungkinan serangan fajar itu sebagai window dressing saja, ala kadar nya saja, tetapi di blowing up. Diyakini, permainan sebenarnya adalah hasil Pileg Orba sudah ditetapkan sebelum Pileg berlangsung. 

Umumnya kita sepakat bahwa biaya Pemilu yang perlu dipikul oleh kandidat memang super mahal. Ini diperkuat oleh, antara lain, pernyataan Alm. Tjahjo Kumolo bahwa untuk berhasil dapat kursi DPR seorang Caleg bisa menghabiskan uang hingga Rp46 miliar. 

Dalam nuansa yang sama, Menko Polhukam, Prof. Mahfud M.D., mengatakan bahwa sekitar 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Dengan kata lain, biaya untuk maju sebagai calon kepala daerah (Bupati/walikota/gubernur) juga super mahal sehingga perlu dapat bantuan dana dari cukong atau cukong sendiri yang maju dalam kontestasi Pilkada itu.

Analogi, sekitar 92 persen kepala daerah terpilih bukan disebabkan oleh faktor integritas dan kapasitas tetapi lebih disebabkan oleh faktor kucuran uang yang besar dari para cukong. Adalah manusiawi jika kandidat itu berhasil, fokus utamanya adalah balik modal dulu dan/atau menerbitkan berbagai kebijakan untuk kepentingan pribadi dulu dan/atau lebih berpihak ke para cukong. Juga, mereka perlu menerbitkan kebijakan, biasanya dalam rangka penggalangan dukungan massa dan dana, agar dapat terpilih kembali dalam pemilihan umum yang akan datang. 

Ini bermuara ke kurang optimalnya, jika bukan buruknya, tata kelola pemerintahan baik pusat maupun daerah. Misalnya, parahnya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup, rendahnya kualitas pendidikan, meluasnya PHK dan lemahnya daya beli masyarakat, sangat besarnya jumlah penduduk yang tergantung dengan berbagai bantuan sosial dan subsidi pemerintah, dan sangat beratnya beban utang negara dan utang BUMN. 

Lingkaran setan cukong dan terciptanya tata kelola pemerintahan yang buruk terus bergulir. Ini sudah bergulir dalam empat siklus Pemilu (2004, 2009, 2014, dan 2019). Belum terdengar adanya upaya untuk memutus mata rantai lingkaran setan itu. Yang terdengar lebih pada keluhan dan kritikan pedas para pengamat. Misalnya, ini antara lain disuarakan oleh Prof Mahfud M.D. seperti tersebut di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun