Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Baby Lobster, Ah Tembang Lawas Pakde Jokowi

20 Desember 2019   20:04 Diperbarui: 25 Desember 2019   14:24 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hambatan Tarif dan Bukan Tarif

Ekonom pada bungkem. Pada bungkem baik yang ada di KIM atau yang diluar KIM. Rizal Ramli bungkem, Bambang Brodjonegoro dan Sri Muljani juga tidak terdengar suaranya. Lebih senyap lagi suara dari kampus. Demokrasi lagi bersemedi tampaknya.

Trending topik pekan ini mencakup gagasan Menteri KKP Edhy Prabowo untuk membuka keran ekspor baby lobster. Gagasan ini ternyata menuai kontroversi yang berkepanjangan. Mantan Menteri KKP bersuara paling lantang menentang inisiatif Edhy itu.

Jajaran pemerintah terutama Menko Luhut BinsarPandjaitan, yang memang sebelumnya sering bersebrangan dengan Bu Susy, mendukung inisiatif tersebut. Presiden Jokowi pada prinsipnya mendukung pembukaan keran ekspor termaksud tetapi ada syaratnya.

Beliau mengatakan bahwa keran ekspor itu perlu dibuka tetapi perlu dikendalikan sehingga memberikan manfaat bagi semua pihak, di satu sisi, dan di sisi lain tetap menjamin tidak ada perusakan habitat dan eksploitasi besar-besaran benur lobster termaksud. Ini narasi yang indah dan manis  sekali. Bermanfaat bagi semua pihak termasuk pemerintah tentunya dan tetap menjamin keberlangsungan kehidupan benur lobster dan tentunya sukses mencegah syahwat eksploitasi besar-besaran benih udang laut yang sangat nikmat itu.

Sayangnya, untuk hal ini para ekonom dan penulis sendiri pesimis dengan narasi manis Bapaknya Gibran ini. Keapatisan penulis ini bersumber dari track records Raja Insfrastruktur ini dalam mengendalikan impor pangan.  

Setiap kali terjadi gejolak dan/atau polemik impor pangan, Presiden Jokowi selalu mengeluarkan narasi manis yang serupa tetapi tidak diwujudkan. Berulang kali Beliau menyatakan keran impor pangan perlu dibuka tetapi harus tidak merusak kehidupan para petani, pedagang, industri dan konsumen tentu saja serta bermanfaat untuk mengisi kas negara.

Tapi apa lacur implementasinya sangat bertolak belakang. Jokowi gagal paham dan/atau kompromi sehingga terjerumus menggunakan instrumen pengendalian impor yang merusak yaitu rezim perizinan dan kuota impor. Rezim perizinan dan kuota impor ini hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan/atau pemburu rente yang ahli sekali berurusan dengan para birokrat untuk mendapatkan izin dan kuota impor tersebut. Implikasinya, rezim ini menciptakan transactional costs yang tinggi yang bermuara pada tendensi maraknya suap dan korupsi perizinan dan kuota impor.

Deretan kasus hukum para pemburu rente/mafia impor pangan ini panjang sekali. Kasus yang terkini adalah suap perizinan impor ikan salem yang melibatkan Dirut Perum Perindo. Selain itu mungkin masih ingat dengan kasus suap izin impor gula mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar. Tak kalah serunya adalah kasus korupsi impor beras beberapa orang Dirut Bulog. Lebih seru lagi adalah kasus suap izin impor sapi Ustadz Lutfhi Hasan Ishaaq yang juga Ketum PKS ketika itu dengan vonis 18 tahun penjara.

Selain itu, rezim ini juga sulit mengendalikan volume dan waktu impor karena kekakuan dan over lapping kewenangan antar instansi pemerintah seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Misalnya, harga beras sudah melonjak tinggi berbulan-bulan tetapi para birokrat itu masih sibuk silang pendapat penting tidaknya impor. Ketika keputusan impor disetujui panen raya sudah tiba dan beras impor menghantam para petani. Beras impor kemudian di simpan dan membusuk di Gudang Bulog seperti yang terjadi sekarang ini.

Ekonom seperti Bu Sri Muljani dan Pak Bambang Brodjonegro sebetulnya paham benar bahwa instrumen optimal tanpa pemburu rente dalam pengendalian perdagangan internasional, impor/ekspor, adalah instrumen berbasis harga. Harga dalam negeri yang rendah dibandingkan dengan harga ekspor, mendorong para eksportir untuk mengekspor sebanyak mungkin dalam waktu yang sesingkat mungkin. Ini terlihat dari kasus harga benur lobster pada tingkat petani yang hanya dalam kisaran 20 -- 60 ribu rupiah/ekor sementara harga di pasar Singapura dalam kisaran 100 -- 200 ribu rupiah/ekor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun