Mungkin kita sepakat bahwa di era reformasi sekarang pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Jokowi adalah terbaik . Terbaik dalam banyak aspek yang mencakup kualitas dan kuantitas. Lihat itu banyak sekali jalan tol yang sudah dan sedang dikerjakan. Lihat juga itu gebrakan ekspansi dan/atau modernisasi bandara, pelabuhan laut, penyebrangan, dan kelistrikan.
Tidak mengherankan jika anggaran infrastruktur APBN melonjak tajam. Sebelum Jokowi, anggarannya jauh dibawah Rp100.00 triliun dan kini sudah melewati Rp150.00 triliun.
Setelah proyek-proyek itu selesai, pemerintah kemudian menyerahkanya ke BUMN sebagai operatornya. Singkatnya, Pemerintah membangun infrastruktur dasar (utility)Â dan setelah selesai diserahkan ke BUMN sebagai operatornya. BUMN operator atau pengelola operasional infrastruktur dasar itu, Â yang dalam literatur internasional lebih dikenal dengan nama UTILITY mencakup PT PLN, PDAM/Perum Jasa Tirta, PT Angkasa Pura, PT Pelindo, dan PT ASDP
Penyakitnya adalah operator-operator itu tidak beroperasi secara baik dan efisien. Namun, ini tidak terungkap ke publik sebab rezim Orba sangat represif atas suara yang beraura kritik sekalipun itu sebetulnya kritik yang membangun.
Baru beberapa puluh tahun kemudian, lebih persisnya pasca lengsernya Pak Harto, terungkap bahwa utiliti-utiliti tersebut tidak efisien dan/atau tidak memiliki daya saing yang tinggi. Ini mencakup jadulnya infrastruktur yang tersedia, mahalnya biaya bongkar/muat dan lamanya dwelling time di pelabuhan PT Pelindo, panjangnya antrian landing/take off pesawat udara dan tingginya frekuensi delayed pesawat udara (PT Angkasa Pura) serta kurangnya kapasitas PLN. Â Kondisi ini diperparah oleh dampak krisis moneter 1997/98 yang mencakup sangat terbatasnya alokasi dana APBN untuk renovasi, modernisasi, dan ekspansi infrastruktur tersebut. Kondisi ini terus berlanjut sejak 1997/98 hingga akhir masa pemerintahan Presiden SBY di tahun 2014.
Presiden Jokowi mengambil banyak langkah terobosan untuk meningkatkan anggaran infrastruktur. Langkah tersebut mencakup peningkatan utang negara dan realokasi anggaran yang tidak begitu mendesak ke sektor yang lebih diprioritaskan termasuk untuk renovasi dan/atau modernisasi utility seperti listrik, bandara, pelabuhan laut, dan penyebrangan. Alokasi anggaran APBN untuk BUMN utility melonjak tajam.
Secara keseluruhan, tidak optimalnya pendapatan dan/atau laba BUMN utilityterus berlanjut. Mereka tidak dapat memupuk Retained Earnings untuk ekspansi dan modernisasi. Kegiatan ekspansi dan/atau modernisasi tetap tergantung pada APBN dan ini paling disukai oleh kementerian teknis terkait, yang persepsi mark up proyek dalam kisaran 20 -- 50 persen masih belum hilang benar.
Ini perlu kita suarakan untuk lebih mendukung kinerja Presiden Jokowi dan terhindarnya krisis yang tersembunyi. Ini juga penting untuk memutuskan warisan utang yang tidak perlu dan beban lemahnya daya saing utility di masa mendatang.
Daftar Pustaka:
Ulfa, Almizan. 2017. Mengurai Benang-benang Kusut BUMN,Yogyakarta: Deepublish