Mohon tunggu...
Al Makur
Al Makur Mohon Tunggu... Petani - Anak petani

Albertus Makur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Secangkir Kopi Kenangan

6 Juni 2020   04:25 Diperbarui: 2 Agustus 2020   00:40 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Now I'm shaking Drinking All this Coffee" lagu dari Zeremy Juker, begitu lirik lagu yang kudengar ketika menyeduh secangkir kopi. Sedikit manis tentu tidak mengalahkan rasa pahitnya. Dulu, Aku suka Kamu dan kopi pahit. Namun sekarang Aku lebih memilih untuk menyeduh kopi manis. Bagiku cukup hidup dan masa lalu yang pahit, selayaknya kopi harus manis. Aku masih seperti pada biasanya, menyeduh secangkir kopi dengan sisa hangatmu yang Engkau bawa pergi. Hehehe.
 
 Ketika pekerjaanku menjadi prioritas, maka Aku sempatkan kopi sebagai rutinitas. Walaupun hanya segelas barangkali ada inspirasi yang melintas. Sejatinya filosofi kopi dilahirkan dari penjual kopi, agar supaya jualannya laku terjual. Namun, kopi secangkir opini dilahirkan pada jiwa yang santuy, mempunyai kemampuan berpendapat setelah menyeduh secangkir kopi. KOPI "ketika otak perlu istirahat. Otak perlu istirahat setelah sekian lama bekerja, pikiran menepi dicangkir kopi,memulihkan rasa penat ketika bibir menempel pada dinding cangkir.

Kopi Secangkir Kenangan
 
 Maaf! Untuk kesederhanaan gubuk tua pada renta usia yang semakin menua. Kursi tua saksi bisu yang semakin lapuk, sebagai tempat Engkau bersandar ketika pundaku mengaku kalah. Seperti kisah kita dahulu kala. Engkau yang melepas penat selepas pikiran bekerja, Ya. tentang kehidupan yang dijalani, tentunya patut dijalankan. Gubuk tua, kursi lapuk, cangkir kopi serta pundakku yakni satu paket yang kini menjadi kenangan indah dihari tua. Engkau yang dengan sejuta senyum yang berjumawa, humoris serta romantis. Dasar Aku yang pernah menjadi remaja. Uhuk uhuk.
 
 Ketika sekian purnama kita berpisah, masih ada sedikit rasa dalam dada. Membayangkan bagaimana Engkau menyuguhkan Aku secangkir kopi ketika bertemu di gubuk tua. Aku yang dengan bangga menceritakan, Engkau dengan senang menertawakan. Itulah Aku yang sebenarnya. Mampu menghadirkan cerita, mengundang canda serta tawa, agar kita bisa hahahahaha secara bersamaan. Kita acapkali duduk berdua, Setelahnya menodai dinding cangkir dengan bibir Kita. Engkau seringkali menyuguhkan kopi yg pahit. Engkau memulai bermesraan dengan cangkir kopi,Aku minum dibekas bibirmu dengan sisa manis bibir yang sejenak menepi. Ahhh romantisnya kita kala itu. Kita menodai cangkir dengan bibir secara berurutan, Aku membayangkan nasib cangkir. Mungkin saja dia begitu bermadah ketika Kita menciumnya dengan lembut. Tetapi, kini cangkir yang bercorak mawar itu telah hancur berkeping-keping, layaknya hatiku yang Engkau tinggal pergi, namun sisa hangatmu masih ada disini.

 Dikala hujan mulai menebar resah dan gelisah setelah awan hitam memberi tanda. Aku menceritakan banyak rencana, namun Engkau selalu menjawab dengan bertanya. Antara Aku yang Engkau suka, ataupun Mereka yang bergelimang harta, mungkin barangkali Mereka yang bermodalkan paraf semata. Setiap rintikan diatas atap gubuk tua itu, selalu ada basah dipipimu yang terlihat merah. Aku dengan bangga mengusap, Engkau yang sedikit manja melepaskan tanganku di pipi yang basah itu seraya berkata jangan tinggalkan diriku, Aku memelukmu erat, Engkau menggenggamku kuat. Ahhhahh bagaimana mungkin hangatmu tidak  tersisa dalam diri ini?. Ketika hujan menyisahkan gerimis, selalu ada pelangi yang menemani. Senyumanmu layaknya pelangi, setelah hangat tubuhku melekat erat pada dirimu. Namun hujan kadangkala mengundang badai, layaknya hati ini yang Engkau tinggal pergi, namun sisa hangatmu masih ada disini. Percakapan kita habis! Kopi dalam cangkirpun habis!.
 
   Aku tidak menjamu hati lagi.
Jika nanti Engkau datang lagi, ingat! Masih kulakukan kesengajaan pertama dan kedua, bahwasanya hanya ada satu gelas untuk berdua.
Kopi tanpa gula. Engkau tahu untuk apa?, Agar Engkau menghargai setiap kehadiran meski tak sepenuhnya terlihat indah dan kepergian yang selalu pahit
Kopi Secangkir Kenangan.
 Ketika Engkau niat berpulang. Aku siap menyeduh secangkir kopi pahit lagi. Ya! pahitnya kopi mengajarkan Kita untuk tidak berpaling akan pahitnya diri.

           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun