Mohon tunggu...
Almahdi Saputra
Almahdi Saputra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Jangankan Bodoh, Bodoh Saja Belum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Pilkada sebagai Ajang Membangun Politik Dinasti

23 Juli 2020   01:09 Diperbarui: 23 Juli 2020   01:06 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah semakin jelas ronanya setelah KPU mengeluarkan peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 mengenai perubahan ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang tahapan, program, dan jadwal pilkada tahun 2020.

Namun penulis melihat ada suatu hal yang cukup menarik untuk dikaji dan ditelisik secara mendalam pada pilkada tahun ini, Yaitunya terkait politik dinasti. Apalagi dengan munculnya nama Gibran Rakabuming (Putra Presiden RI) sebagai bakal calon Walikota Solo dan Siti Nur Azizah (Putri Wakil Presiden RI) sebagai bakal calon Walikota Tangerang Selatan, semakin memperjelas kemunculan politik dinasti pada perhelatan pilkada yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang.

Seperti yang sama-sama kita ketahui politik dinasti merupakan sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Ini dapat ditemukan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan monarki, yang mana memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Walaupun demikian, praktek seperti ini juga tidak menutup kemungkinan bisa ditemui di negara kita yang berbentuk republik ini.

 Pada dasarnya dalam konstitusi (UUD 1945) tidak ada aturan yang melarang praktek politik dinasti, bahkan politik dinasti telah dilegalkan oleh mahkamah konstitusi. tapi hal ini tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk menerapkan politik dinasti di indonesia. Karna sesungguhnya politik dinasti tersebut akan memberikan dampak yang luar biasa kepada negara, bahkan akan menciderai asas demokrasi yang kita anut.

 Dalam negara yang menganut asas demokrasi setiap orang memang memiliki hak untuk memilih dan dipilih, yang kemudian hak ini dilanjutkan dengan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, tetapi politik dinasti tidaklah merupakan sebuah jalan untuk menggunakan hak tersebut. Karna menurut hemat penulis, perkara hak dan kewajiban dalam lingkungan pemerintahan tidak bisa dianggap seperti membolak-balik telapak tangan saja. Karna ketika seseorang telah ditempatkan pada roda pemerintahan maka ia akan memiliki kewajiban dan sekaligus tanggung jawab besar untuk memperjuangkan dan memajukan rakyatnya.

Kalau kita melihat pada prakteknya politik dinasti memiliki berbagai dampak negatif, yang terkadang hal ini sering luput dari perhatian kita bersama. Adapun dampak negatif tersebut diantaranya adalah: pertama, proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Karna dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Sehingga akan memungkinkan bagi kader partai yang memiliki prestasi dan visi yang bagus akan bisa tersingkirkan.

Kedua, tertutupnya kesempatan bagi masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Memang ini merupakan suatu konsekuensi logis dari politik dinasti. Karna sirkulasi kekuasaan hanya berputar dilingkungan keluarga dan orang terdekat saja. Ketiga, dengan adanya politik dinasti maka akan sulit tercapainya pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and good governance). ini disebabkan oleh lemahnya fungsi kontrol kekuasaan sehingga tidak jarang akan menimbulkan berbagai penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kalau kita melihat pada praktek politik dinasti yang pernah terjadi di indonesia memang secara umum praktek ini hanya menimbulkan kerugian. Baik kerugian karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin maupun kerugian yang berakibat kepada uang negara, yaitu dengan terjadinya berbagai kasus korupsi dan maraknya praktek nepotisme dalam pemerintahan.

Contohnya saja pada kasus Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari yang terlibat dalam tiga kasus korupsi yang menyedot uang negara sebanyak kurang lebih Rp. 350 miliar. Belum lagi pada korupsi yang telah dilakukan ayahnya Syaukani Hasan Rais yang merupakan mantan Bupati Kutai Kertanegara. Syaukani yang berhasil meraup dana sebesar Rp. 93,204 miliar.

Contoh kasus lain dapat juga kita lirik pada dinasti Atut di Banten. Yang mana mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menempatkan kerabatnya di pemerintahan Banten. Atut merupakan tersangka sejumlah kasus korupsi bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias wawan. Kasus itu yakni suap terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait penanganan sengketa pilkada Lebak.

Melihat pada berbagai kasus diatas maka sejauh pandang penulis, politik dinasti sangatlah berbahaya jika terus menerus diterapkan di negara kita, sehingga alasan apapun sesungguhnya yang dipakai dalam politik dinasti ini tidak akan mengobati luka masyarakat pada masa yang lalu-lalu. Namun kalaupun ini akan tetap diterapkan juga maka ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, diantaranya adalah :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun