Mohon tunggu...
Allen Rangga
Allen Rangga Mohon Tunggu... Guru - Unity in Diversity

Saya, Albertus Rhangga. Biasa dipanggil Allen. Kalian mungkin bertanya mengapa saya dipanggil Allen? heheh, Ya, itulah saya, dengan nama yang unik, yang menggambarkan keunikan saya sebagai pribadi. Saya tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan politik, sosial-budaya, olahraga, dan tentu sesuatu yang bernuansa filosofis. Selain itu, saya suka membaca, menulis, bermusik, dan berolahraga. Bagi saya, tubuh yang sehat adalah pancaran jiwa yang sehat. Maka, berolahraga, bermusik, menulis dan membaca adalah cara yang ampuh untuk menjaga tubuh agar tetap sehat sekaligus penanda jiwa yang sehat pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebenaran Itu Membebaskanmu

22 April 2021   11:56 Diperbarui: 22 April 2021   13:09 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dewasa ini topik kebenaran dan kemerdekaan merupakan sesuatu yang tidak asing di telinga. Dimana pun dan kapan pun orang tertarik untuk membahasnya sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing. Namun demikian, kebenaran dan kemerdekaan itu sendiri tidak memiliki arti  tunggal. Setiap orang memiliki pandangan dan penilaian tersendiri berkaitan dengan kebenaran dan kemerdekaan. Parah ahli filsafat, politikus, teolog, atau siapa pun mengklaim punya pandangan dan definisi tersendiri mengenai kedua kata di atas.

Apakah kebenaran dan kemerdekaan itu memiliki koherensinya? Jikalau ada, apa relevansinya bagi masyarakat zaman sekarang? Pembicaraan mengenai kebenaran sebenarnya tidak asing bagi kita sebab setiap hari manusia senantiasa berada dalam ketegangan ini, yaitu kebenaran dan ketidakbenaran atau ketidak-otentikan. Dalam refleksi ini sebenarnya tidak bermaksud untuk melihat dan mengurai segala teori tentang kebenaran atau kemerdekaan, tetapi terlebih khusus mau menawarkan suatu refleksi rohani terkait dengan topik di atas, yaitu kebenaran itu membebaskan atau memerdekakan. Apakah dengan memahami kebenaran manusia akan mencapai kebebasan, atau apakah kebenaran itu sungguh-sungguh membebaskan? Titik tolak refleksi ini mengacu pada bacaan dari Injil Yohanes 8: 31-42.

Apabila kita mengamati secara seksama, dalam bacaan ini menampilkan suatu dialog yang luar biasa antara orang-orang Yahudi yang mempertanyakan identitas Yesus terkait dengan otoritas pengajaran yang disampaikan-Nya. Melalui dialog ini pula pembaca dapat diantar untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa Yesus ingin memperlihatkan otoritas pengajaran-Nya, sekaligus menampilkan salah satu kesamaan atau persamaan dengan orang-orang Yahudi tentang siapa diri Dia yang sesungguhnya. Tujuan dialog Yesus ini sebenarnya mengantarkan orang-orang Yahudi untuk hidup dan tinggal dalam kebenaran serta memeluk kebenaran itu sendiri.

Diskusi Yesus ini berawal dari pernyataan yang Ia sampaikan kepada orang-orang Yahudi yang mengikuti-Nya. Pernyataan itu sebenarnya merupakan suatu penyingkapan diri-Nya secara halus melalui pengajaran yang bersifat dialogis. Ia berkata, "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Dengan menjadi murid, para murid dapat memahami kebenaran? Yesus melalui pernyataan ini sebenarnya memberikan suatu pengandaian kepada orang-orang Yahudi yang disebut-Nya sebagai para murid. Pengandaian itu terletak pada kesetiaan para murid-Nya untuk tinggal tetap dalam firman-Nya. Tinggal tetap di sini harus dipahami suatu tindakan yang sadar untuk berpegang pada segala pengajaran yang disampaikan oleh sang Guru. Yesus memberikan suatu jaminan bahwa apabila para murid tinggal dan melakukan segala yang Ia firmankan, maka mereka akan sampai atau memahami kebenaran.

Yesus tidak memberikan suatu pandangan yang sangat teoretis tentang kebenaran. Ia tidak memberikan suatu argumentasi teoretis tentang paham-paham kebenaran, seperti yang seringkali dilakukan oleh para ahli atau kaum akademisi agar terkesan berintelektual. Ia tidak memberikan apa definisi dari kebenaran, malah Ia diam dan tidak menjawab ketika Pilatus bertanya kepada-Nya perihal kebenaran. Ia hanya terdiam dan menatap sang Pilatus yang bertanya tentang apa itu kebenaran. Apakah Yesus tidak tahu apa itu kebenaran? Atau, apakah Ia ingin mengungkapkan suatu jenis kebenaran baru yang selama ini tidak dikemukakan oleh para ahli? Sepertinya Ia ingin memperlihatkan suatu konsep kebenaran yang lain daripada yang pernah disampaikan oleh para ahli. Pernyataan sang Guru mengenai kebenaran itu menimbulkan tanda tanya. Ia mengatakan bahwa kebenaran itu akan memerdekakan kamu. Apa hubungan kedua kata tersebut?

Zaman sekarang kita melihat bahwa kebenaran itu muncul sesuai dengan versinya tersendiri. Bahkan, dalam jaman post-truth, ketidakbenaran (kabar bohong) apabila diungkapkan secara terus menerus akan menjadi suatu kebenaran. Setiap orang mengklaim bahwa ia atau mereka paham tentang kebenaran, bahkan mereka mengakui bahwa hal yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran? Sepertinya ini jelas bahwa kebenaran yang disampaikan oleh manusia lebih berkaitan dengan suatu fakta atau perasaan yang mereka hadapi. Konsep kebenaran itu sendiri masih jauh dari yang dapat dipikirkan. Dengan kata lain, kebenaran sesungguhnya belum dicapai. Yang diklaim oleh manusia hanyalah pandangan pribadi atas suatu hal dan mereka lalu mengklaim bahwa apa yang mereka ketahui adalah kebenaran. Kebenaran ini adalah kebenaran subyektif.

Penyebutan kata merdeka yang disampaikan Yesus lantas menimbulkan reaksi dari orang Yahudi. Orang-orang Yahudi berkata, "Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Bagaiamana Engkau dapat berkata: "Kamu akan merdeka?" Orang-orang Yahudi ini sebenarnya adalah orang yang sangat paham dengan asal muasal nenek moyangnya. Mereka membayangkan bahwa pernyataan Yesus tentang "kebenaran akan memerdekakan kamu" itu dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan tertindas atau tertekan yang dilakukan oleh suatu kekuatan dari luar. Perlu dipahami juga bahwa orang Yahudi di zaman Yesus sedang berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Jadi kata kemerdekaan ini mungkin dipahami sebagai pembebasan dari situasi ketertindasan atau penjajahan. Sanggahan mereka atas pernyataan Yesus itu langsung merujuk pada identitas sosial-agama mereka sebagai keturunan Abraham, yang dalam sejarahnya tidak pernah menjadi hamba, melainkan orang kaya yang memiliki banyak hamba.

Bagi orang Yahudi, pernyataan Yesus itu sulit dimengerti sebab mereka mengakui bahwa mereka tidak mungkin menjadi seorang hamba atau dikuasai oleh suatu kekuatuan yang membuat mereka menderita dan menjadi tidak merdeka atau bebas. Kita langsung dapat membayangkan bahwa dengan menyebut nama Abraham sebagai nenek-moyangnya, orang-orang Yahudi itu langsung menempatkan konteks pembicaraan pada identitas keagamaan yang memiliki korelasinya dengan masalah sosio-politik.

Nampaknya, diskusi Yesus di atas tidak merujuk pada persoalan sosial dan politik. Orang-orang Yahudi mungkin membayangkan bahwa kemerdekaan dan kebenaran yang disampaikan oleh Yesus itu mengacu pada situasi mereka (bangsa Yahudi) yang dijajah oleh bangsa Romawi saat itu. Disini-lah Yesus memulai dengan metode katekese-Nya. Ia berkata, " Aku berkata kepadamu, setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak itu tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka." Yesus langsung masuk pada pokok pengajaran-Nya atau berkatekese tentang dosa. Ia memulai pokok pengajaran dengan mengambil suatu contoh konkrit atau peristiwa aktual yang mereka hadapi kemudian secara perlahan mengalihkan diskusi itu ke ranah yang lebih spiritual.

Bagi Yesus, kemerdekaan atau kebebasan yang ingin Ia sampaikan saat itu tidak seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Yahudi. Ia lebih melihat kemerdekaan secara spiritual, yakni suatu keadaan dimana manusia tidak berada dalam belenggu dosa atau diperbudak oleh kuasa dosa. Dalam bahasa kitab suci disebut sebagai hamba dosa. Jadi Yesus mau menekankan bahwa ketika dosa berkuasa dalam diri manusia berarti secara jelas manusia sudah menjadi hamba atau budak dari dosa. Ketika manusia menjadi hamba dosa maka konsekuensinya ialah ia tidak mencapai kebenaran itu sendiri. Kebenaran benar-benar tercapai apabila manusia terbebas dari bahaya dosa.

Jadi kebenaran yang disampaikan oleh Yesus itu mengandaikan suatu disposisi batin yang tidak terperangkap dalam dosa. Hanya dengan hati yang bersih atau tanpa dosa manusia dapat memahami atau mengalami kebenaran itu. Satu hal yang harus dipahami disini. Kebenaran yang Yesus sampaikan tidak berkaitan dengan teori-teori kebenaran, melainkan suatu kondisi hati yang bersih, tidak bercela, serta selalu terarah kepada Tuhan. Tuhan adalah sang kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, melalui kebenaran manusia dapat sampai kepada Tuhan. Bagaimana caranya agar manusia dapat sampai kepada kebenaran? Bukankah manusia itu seperti bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur oleh kelemahan manusiawi yang seringkali mengantarnya kepada dosa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun