Mohon tunggu...
Devi Nur
Devi Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Jangan bosan menulis, membaca dan mendengarkan.

Terima kasih sudah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kucing Abu-Abu

23 November 2020   09:59 Diperbarui: 23 November 2020   10:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kucing Abu-Abu

Berkeluarga memang menjadi impian semua manusia di bumi. Namun, sepertinya tidak dengan Ayah dan Ibuku. Setiap hari mereka adu mulut, mulai dari bangun pagi sampai jelang menutup hari. Memang tidak setiap hari, maksudku, hal-hal kecil selalu di tiup dan menjadi besar. Amarah kemana-mana, rumah seakan-akan tidak memiliki celah untuk bernapas. Terasa pengap karena suara mereka yang begitu keras dan riuh, seperti supporter sepakbola.

Tidak salah jika saat matahari muncul, raut wajahku tidak pernah berseri-seri sekalipun hari itu adalah jadwal study tour. Bibir tidak pernah menyambut pagi dengan senyum, takut jika pagi itu senyumku dipaksa mundur dengan adu mulut mereka berdua. Sarapan setiap pagi selalu terpisah, padahal semua menu ada diatas meja lengkap dengan kursi yang melingkarinya. Ayah di belakang sembari ngopi, Ibu di dapur duduk di depan lemari mangkuk-mangkuk, sedangkan aku di depan TV dengan tontonan anak-anak. Tidak apa, sedewasa apapun seseorang pasti butuh hiburan meskipun tidak sesuai dengan usia mereka. Justru itu yang paling menyenangkan, bukan?

Setiap pagi, minim bicara. Hanya Ayah yang meneriaki ayam-ayamnya supaya segera makan. Marah-marah ketika ada ayam tetangga yang ikut bergabung, tidak jarang hingga melemparinya dengan sandal yang dikenakannya atau kerikil di dekatnya. Sedangkan Ayah sendiri marah-marah jika ayamnya luka setelah beradu dengan ayam tetangga. Dulu Ibu diam saja, kini sudah berani menjawab segala kemarahan Ayah, seperti ayam-ayam tetangga itu.

"Jangan lempar-lempar ayam tetangga sembaranag, sekarang ayam punya sendiri kan yang jadi korban. Apa yang kita perbuat juga akan kembali lagi pada kita."

Ayah mengelak dengan segala alasan dan mereka mulai bertempur lagi. Telingaku memberontak, napasku sesak dan aku segera berangkat sekolah. Mengayuh sepeda dengan derai air mata tak tertahankan.

"Katanya, harta yang paling berharga adalah kelurga, kenapa harta itu terasa tidak ada artinya? Sia-sia saja aku hidup hingga usia kelas 1 SMA, lebih baik mati saja sejak dalam kandungan jika saat lahir minim kasih sayang. Tuhan? Apakah Engkau serius dan sungguh-sungguh dengan rencana macam ini? Hah?"

Sebelum sampai di sekolah segera kuhapus air mata yang membasahi wajah. Masuk sekolah dengan harapan lupa dengan luka yang kubawa sepanjang perjalanan.

*****

Hari itu tidak ada kegiatan setelah pulang sekolah. Aku memutuskan pulang saja meski sebenarnya malas. Pulang sama dengan menjemput luka. Maka dari itu memperlambat kayuhan sepeda adalah jalan ninjaku. Seperti biasanya, aku melewati pedagang bunga di pinggri jalan, setiap hari. Biasanya membeli setangkai bunga sesuai dengan sisa uang yang kubawa. Jadi bukan jenis bunga apa yang ingin kubeli, melainkan bunga seperti apa yang bisa kubeli dengan uang sisa.

Aku hanya lewat dan melirik saja, tidak mampir apalagi membeli. Namun, ada seorang nenek menyuruhku berhenti dan memberiku setangkai bunga berwarna putih. Katanya, setelah sampai rumah segera diletakkan di wadah bening yang berisi air supaya tidak cepat layu. Kuucapkan terima kasih kemudian melanjutkan perjalanan. Bunga kuletakkan di dalam tas supaya lebih aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun