Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gadis Yatim Piatu ini, Mengemis untuk Melunasi Utang Warisan

4 Mei 2015   09:03 Diperbarui: 11 Oktober 2015   00:26 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430703369430997681

[caption id="attachment_414778" align="aligncenter" width="414" caption="Dewi Anggraeni, Gadis Cilik Yatim Piatu yang harus mengemis untuk melunasi hutang warisan ibunya | detik.com"][/caption]

Undang-undang Dasar 1945, Pasal 34 ayat (1), berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.  Sebuah cita-cita mulia dari para bapak pendiri bangsa, menyadari bahwa rakyat indonesia tidak akan merata penyebaran kekayaan perorang, mereka para pendiri negara, membebankan kepada Negara untuk memelihara para fakir miskin dan anak terlantar.  Bagaimana implementasinya dilapangan?

Kemarin (3/5/2015), Detik.com menurunkan tulisan yang menyayat hati, seorang gadis kecil harus mengemis demi melunasi hutang-hutan almarhum ibunya yang meninggal karena sakit.  Gadis kecil itu bernama Dewi Anggraini, kelahiran 6 Februari 2004, sudah dibebani sulitnya kehidupan, masih beruntung ada tetangga yang mau menampung padahal kondisi tetangganya sendiri tidaklah lebih baik.

Dewi yang masih duduk dikelas III SDN 1 Karengklesem, memulai aktifitasnya sebagai pengemis sejak jam tiga sore sampai jam sembilan malam, dengan target pendapatan minimal Rp. 70.000, jika tidak memenuhi target Dewi tidak berani pulang dan kadang ditemui menangis dipinggir jalan ditempat dia biasa meninta-minta.  Uang hasil mengemis Dewi serahkan kepaa SR, tetangga yang merawat Dewi, uang itu kemudian digunakan untuk mengangsur hutang almarhum ibunya.  Dewi tidak berani pulang jika tidak memenuhi target karena akan dimarah SR, dari total pendapatan minimal Rp. 70.000,--, sebanyak Rp. 50.000,-- untuk membayar rentenir sementara sisa di berikan kepada SR.

Tetangga Dewi, yang lain, Supriyatin (44), menjelaskan bahwa Dewi sebenarnya memiliki kakak perempuan, semenjak ibunya meninggal, sang kakak pergi. Sejak itulah hanya Dewi seorang yang berusaha melunasi utang ibunya. Pada awalnya utang almarhum ibunda Dewi hanya Rp 2 juta, tapi berhutang ketangan rentenir utang berkembang menjadi Rp 6 juta dan diwariskan kepadanya sehingga harus ia lunasi.

Sementara untuk di Sekolah, Dewi mendapat bantuan siswa miskin (BSM), untuk keperluaan buku dan lainnya di penuhi dari dana BOS.

Guru Dewi di Sekolah dan Guru Ngaji-nya, sudah mengetahui kondisi Dewi, Pak Musaffa, guru ngaji Dewi sudah melaporkan kondisi anak didiknya ke Dinas Sosial Kabupaten Banyumas dan nasib yang lebih baik masih berpihak kepada Dewi, utang almarhum ibunya diambil alih oleh Pemda setempat, sementara Dewi sendiri saat ini sudah ditampung di rumah berkunjung yang terletak di Jalan Sri Rahayu Rt. 4/16, Kelurahan KarangKlesem, Purwokerto Selatan. Rumah berkunjung tersebut dikelola oleh Guru ngajinya Dewi, Musaffa.

Berkaca dari kasus Dewi, secara sederhana dapat ditarik beberapa kesimpulan :

 

    • Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34, Ayat (1), masih belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Negara, penanganan kasus-kasus anak-anak terlantar masih bersifat sporadis dan belum sampai menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
    • Sakitnya ibu Dewi yang berakibat kematian, bisa menjadi cambuk bahwa kedepan peran BPJS haruslah semakin ditingkatkan, perangkat-perangkat pemerintahan jangan hanya memperdebatkan pelaksanaan BPJS yang belum maksimal.  Peran serta aparat negara memberikan kampanye positif BPJS akan meningkatkan kesadaran masyarakat menjadi bagian dari BPJS.  Plus-minus pelaksanaan dilapangan selalu ada, tetapi jika aparat skeptis dengan penyelenggaraan asuransi kesehatan oleh negara dan terlalu mengagungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan  oleh lembaga swasta secara tidak langsung telah melakukan diskriminasi terhadap mereka yang kebetulan tidak mampu.
    • Aparat pemerintah sebaiknya lebih berperan aktif bila perlu terjun langsung kelapangan dan “merampas bola”, tidak bersikap pasif dan selalu menunggu laporan dari masyarakat.
    • Peran serta lembaga-lembaga sosial yang kelola secara berkelompok maupun individu, harus di support penuh oleh Pemerintah, sudah bukan saatnya lagi lembaga-lembaga sosial bentukan pemerintah merasa tersaingi, saatnya lembaga swasta dan pemerintah yang bergerak dibidang sosial masyarakat melalukukan sinergi agar dicapai hasil yang maksimal.

Simpulan ini tidak bermaksud menggurui para pejabat pemerintah, tapi hanya sekedar mengingatkan, mungkin mereka terlupa karena banyaknya tugas rutin yang harus diselesaikan dalam waktu bersamaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun