Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gigi Empat Bukan Gigi Satu

2 Juli 2017   21:40 Diperbarui: 2 Juli 2017   21:42 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sawah | dok. pribadi)

Ramadan tahun ini bersamaan dengan panen di kampung saya. Sebuah kampung yang jauh dari pusat kota, sebuah kampung yang masih terisolasi tradisi, sebuah kampung yang damai dengan orang-orang berkehidupan sederhana. Pagi ini saya sudah segar, mandi di waktu subhu sebelum fajar menyingsing. Air dingin yang segar menyelimuti kulit. Saya berencana mencari ide menulis untuk beberapa hari ke depan. Tak perlu mengulur waktu, saya segera mengayuh sepeda menuju pesawahan di dekat rumah.

Gabah telah penguning, menunduk karena sudah terisi beras. Di sawah banyak petani-petani yang sudah terlihat bercucuran keringat untuk memanen hasil buminya. Padi, yah padi dengan nama latin: Oryza sativa L. Padi sangat mudah ditemukan di area pesawahan di Indonesia ini, terutama dalam lingkungan perkampungan. Padi merupakan tumbuhan pokok dalam peradaban dunia, menempati urutan ke tiga setelah jagung dan gandum. Kemudian Saya sempat saling sapa dengan beberapa petani yang saya kenal, saling tanya kabar dan kemudian ngobrol ngalor-ngidul.

Waktu cepat berlalu, begitu singkat untuk liburan akhir pekan ini. Jam tangan saya menunjukan pukul 09.30 siang. Cuaca pesawahan mulai memanas. Saya yang tidak terbiasa di sawah merasa begitu kepanasan. Semantara itu belum dapat satu gagasan pun untuk ditulis dalam gelaran menulis random 2017 pada hari ke 14. Saya merasa begitu khawatir akan kekurangan ide dalam menulis. Saya merasa lebih mudah menjadi seorang komentator alih-alih menjadi penulis. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Sudah bangun pagi-pagi untuk jalan ke sawah. Dari fajar belum menyingsing hingga teriknya sang fajar menyinari semesta. Haus, lapar, kesal, ingin rasanya membenturkan kepala ke aquarium lalu memakan ikan lauhan hidup-hidup yang sudah dipelihara dua tahun ini, dan meminum airnya.

Ketika beranjak ingin pulang untuk mengistirahatkan diri, saya melihat seorang kakek-kakek. Nampak tua dan lelah. Keringatnya bercucuran di keningnya. Saya rasa sudah waktunya kakek itu menikmati hari tua menimang-nimang cucu sambil memainkan jemari cucu yang lucu. Tapi kenyataannya kakek itu masih menjalani kehidupannya sebagai petani. Dengan sepeda motor tuanya dia menaikan sekarung padi basah yang bertuliskan 52 kilo gram ke atas jok belakang. Susah-payah ia berhasil menghidupi mesin sepeda motor tua itu dengan cara mengengkol. Kemudian dia teriak meminta tolong, saya pun dengan sigap menghampiri dengan niat memberi pertolongan.

"Kenapa kik...?" Tanya saya memanggil dia dengan panggilan Akik.

"Ini tong, motor akik ga kuat jalan, padahal udah akik masukin gigi empat," Kata si akik berusaha menjelaskan permasalahnya.

Dengan rasa lemas, lapar, haus, saya memberi solusi ; "Kik, jangan gigi empat, pake gigi satu kik..."

Lahadalaaaahh dengan nada panas tinggi si akik itu balas jawab, "Nenek lo gigi satu tong, gigi empat aja gak kuat jalan apa lagi gigi satu."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun