Malam hari langit begitu indah. Bintang-bintang berkelip. Bulan purnama yang bulat memancarkan sinarnya yang terang. Sesekali terdengar suara jangkrik. Suara burung malam dan kepakan sayap kelelawar menambah keramaian malam. Angin malam berhembus pelan dan tenang. Di balai bambu depan rumah, Sumijah, istri Maja, dan Soleh, anak Marja, duduk memandangi bulan dengan kegelisahan.
"Bapak kemana, Mak? Kok belum pulang," tanya soleh kepada ibunya, Sumijah," Soleh lapar, Mak."
"Sabar ya, Leh, sebentar lagi bapakmu pulang."
"Tapi ini sudah malam, Mak. Biasanya Bapak pulang sebelum isya,"
"Mungkin bapak mu masih memeras keringat untuk kita makan. Kita doakan saja biar bapak cepat pulang ya, Leh,"
Malam semakin larut. Angin malam semakin terasa dingin. Tetapi Marja masih belum juga pulang menemui anak dan istrinya. Sumijah dan Soleh diam termangu membisu menunggu kepulangan Marja. Anak dan ibu ini saling memandang, sesekali berpelukan untuk memecah rasa gelisah di hati mereka.
Pagi hari sebelumnya, Sumijah dan Marja hampir bertengkar. Sumijah mengeluh dan mengadu pada Marja. Perkara dapur rumah tangga.
"Pak, kita mau makan apa? Lihatlah, beras habis, Garam, gula juga habis. Aku tidak bisa menyuguhkanmu kopi dan Soleh butuh biaya sekolah. Uang yang kamu beri tidak cukup untuk sehari-hari, Pak."
"Mijah, Mijah, Mijah. Mulai lagi, mulai lagi. Sudah berkali-kali aku katakan jangan mengeluh terus."
"Pak, kita mau makan apa?" tanya Sumijah meneteskan air mata. Marja terdiam tak sanggup lagi untuk berkata-kata.
"Sudah, sudah. aku berangkat sekarang. Sebaiknya kamu Doakan aku saja."