Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Celoteh Semilir Angin Akhir Pekan Ini

17 Desember 2017   23:32 Diperbarui: 17 Desember 2017   23:51 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada satu kalimat yang saya ingat dari Abdurrahman Wahid atau sering juga dipanggil dengan nama Gus Dur: "Sabar itu nggak ada batasnya, kalau ada batasnya berarti enggak sabar." (Foto: Meita Eryanti)

Apapun makna dari kalimat itu membuat otak saya berpikir untuk tetap harus manunggu apa yang saya tunggu. Tetap yakin pada apa yang saya yakini. 

Meskipun hati ini sudah jengah dengan segala ingar-bingar perayaan kegiatan yang hanya dinikmati satu kelompok tersendiri. Sempat berpikir untuk pulang saja, menikmati kopi di beranda rumah dengan ditemani khong guan isi rangginang. Tetapi pikiran itu tidak kompak dengan hati ini. Bertolak belakang.

Entahlah, kemana larinya anak-anak yang ingin saya temui. Yang biasanya ramai menari-nari di Rumah Pelangi. Masih di Taman Baca Masyarakat Rumah Pelangi Bekasi yang beralamat di kampung Babakan Kalibedah, Desa Sukamekar Kecamatan Sukawangi Kabupaten Bekasi. 

Saya tetap berkeyakinan bahwa mereka akan datang meskipun itu hanya satu atau dua anak. Saya berkeyakinan bahwa tempat ini adalah tempat yang nyaman untuk mereka bermain.

Ingin rasanya menemani mereka bermain, berlari-lari kesana-kemari dengan segala imajinasi mereka yang polos. Sederhana saja, saya hanya ingin menemani mereka bermain dengan mendongeng atau membacakan cerita dari beberapa lembar kertas bergambar yang saya bawa dari rumah. Setidaknya saya datang dari rumah ke sini (Rumah Pelangi) ada sesuatu yang saya perbuat. Sehingga saya tidak merasa menelantarkan mereka bermain bebas tanpa pengawasan.

Kalimat itu pula yang menjadi kata kunci bagi saya hari ini. Selalu ada buah dalam menanamkan kesabaran. Sebuah penantian berjam-jam mendatangkan empat orang anak yang saya harapkan kedatangannya. Dengan riang mereka berlari, mendekati saya dan Teh Meita lalu mengucapkan salam: Assallamuallaikum.

Segera bibir saya membalas salam mereka dan batin ini mengucapkan syukur Allhamdulillah. Ternyata apa yang saya yakini hari ini terjadi. Tak ingin membuang waktu saya dan Teh Meita segera mencari posisi nyaman untuk mengajak mereka duduk dan menikmati semilirnya angin sore ini.

"Kalian mau duduk di mana?" Tanya Teh Meita pada ke empat anak-anak kecil itu.

"Di sana" Salah satu anak menunjuk ke arah selatan.

"Di sana, Teh" Satu anak yang lain menunjuk ke arah utara.

Tak perlu pikir panjang saya, Teh Meita, dan ke empat anak itu menuju arah yang kami tentukan. Mula-mula yang bercerita adalah Teh Meita. Ia membawakan cerita tentang Tikus yang Masuk ke Dalam Rumah. Setelah Teh Meita bercerita saya mendapat giliran. Melihat antusias anak-anak itu, saya dengan percaya diri ikut berbagi cerita kepada mereka. Saya bercerita tentang Buaya yang Kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun