Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Suatu Waktu di Sebuah Nagari

15 April 2019   14:34 Diperbarui: 15 April 2019   14:53 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Konon, di sebuah nagari yang indah dan permai, terdapat sebuah kisah yang memilukan. Rakyat nagari tersebut sangatlah banyak dan beragam, mereka pun (sempat) hidup rukun satu sama lain. Keindahan alamnya tak perlu ditanya, dari ujung ke ujung kau akan disuguhi pemandangan elok nan rupawan.

Tapi, ada krisis besar yang sedang melanda nagari itu, selama tiga tahun terakhir rakyat tak tenang tidurnya, tak nikmat makannya, dan gelisah pikirannya. Ada yang menghilang, yaitu kasih sayang. Namun, ada pula yang tumbuh tak karuan, yaitu kebencian.

Dua kutub sifat manusia itu saling bersitegang dan tarik-menarik pengaruh, coba menaklukkan nalar dan nurani rakyat nagari yang konon katanya makmur itu. Banyak yang masuk dalam arus konflik dan mencari makna bahkan penghidupan darinya, dan tidak sedikit pula yang menarik diri dari hiruk pikuk kerusuhan dan mencoba menghindari konflik menentukan pilihan pemimpin bangsa.

Alkisah, konflik ini meruncing sejak ada dua calon pemimpin baru yang berkompetisi menuju kekuasaan.  Kedua kubu pendukung calon sama gilanya, sama fanatiknya. Mereka berpikir kalau pemimpin idamannya tidak menang, akan runtuhlah langit dan meluluh-lantakkan semesta. Menjelang pemilihan, mereka semakin gila dan gelap mata, kata-kata seperti damai dan saudara mereka hapus dari kosakata sehari-hari.

Di nagari yang ajaib ini, banyak orang yang terlena akan kekuasaan dan merasa berhak menghakimi pilihan dan pandangan hidup orang lain. Jika tak sesuai, maka habis sudah kesempatan untuk berpelukan, berangkulan, bahkan sekadar berjabat tangan. Semuanya akan berhulu pada perebutan kekuasaan dan perdebatan yang tidak jauh dari caci-maki.

Rakyat di nagari ini pada dasarnya memiliki keuletan dan kegigihan dengan tingkat militansi yang tinggi. Sayangnya, kekuatan ini kerap kali tidak digunakan dengan bijak. Hanya demi perkara besok akan dipimpin siapa, mereka siap menumpahkan dan bersimbahkan darah.

Padahal, nasib ada di tangan mereka sendiri, terlepas dari apik atau tidaknya kepemimpinan seorang kepala negara. Obsesi untuk memperlihatkan superioritas kelompok mereka masing-masing tampaknya memberikan kabut tebal yang menutupi akal dan nurani mereka.

Sudahlah, berhenti mendukung dengan membabi buta wahai rakyat-rakyat nagari yang terhormat. Perut yang lapar mari kita isi bersama, tenggorokan yang kering mari kita basahi bersama, tanah yang tandus kita tanami bersama. Sambut pemimpin baru (siapapun ia nanti) dengan keyakinan bahwa mereka memimpin insan-insan yang sudah selesai bergumul dengan batinnya sendiri dan memiliki tekad yang sama kuat untuk membangun nagari ini!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun