Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dua Bulan Hidup Tanpa Gadget

13 Oktober 2011   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:59 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Nopember 2008, saya bersama beberapa teman berangkat ke India untuk mengikuti sebuah kegiatan keagamaan selama dua bulan penuh.

Sebenarnya tidak ada pengumuman resmi yang secara khusus melarang para peserta membawa ponsel, kamera, laptop atau gadget lain selama mengikuti kegiatan tersebut. Hanya ada anjuran agar dapat lebih berkonsentrasi mengikuti berbagai program maka sebaiknya  para peserta tidak membawa barang-barang semacam itu. Saya memilih mengikuti anjuran ini, sementara beberapa teman terlihat masih ada yang membawa gadget.

Begitu memutuskan berangkat, di samping meninggalkan istri dan anak,saya juga meninggalkan ponsel, kamera dan laptop yang biasanya saya tenteng ke mana-mana. Selama di India, saya juga sama sekali tidak menyentuh barang-barang semacam itu. Praktis selama itu saya putus hubungan dengan segala sesuatu di luar kegiatan saya.

Minggu-minggu pertama, saya merasa agak kikuk menjalani hidup tanpa anak, istri dan gadget. Biasanya sebentar-sebentar memanggil mereka untuk minta dibuatkan kopi, teh atau sekedar menggoda saja. Untuk gadget, saya biasanya tak pernah bisa berada jauh-jauh dari barang-barang tersebut, sebentar-sebentar memegang ponsel untuk bertelepon ria atau berkirim sms, setelah itu mengecek email dan browsing internet di laptop atau kadang-kadang juga menonton televisi.

Minggu-minggu berikutnya, saya mulai dapat beradaptasi dengan keadaan. Kebetulan kegiatan saya selama disana cukup padat. Dari mulai pagi, siang, sore hingga malam, kegiatannya lebih banyak jalan-jalan bersilaturahim kepada penduduk setempat, tentu saja ditemani oleh pemandu lokal.

Saat itu, saya merasakan kehidupan seperti diputar kembali ke awal tahun 1990-an, ketika gadget semacam ponsel atau komputer masih merupakan barang yang sangat asing bagi saya.

[caption id="attachment_136698" align="alignleft" width="300" caption="Sumber gambar : www.galericerpen-flp.blogspot.com"][/caption] Arus informasi lebih banyak dilakukan secara manual. Kalau ingin berkirim kabar kepada orang tua atau saudara, saya biasa melakukannya lewat surat. Jika ingin mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia,  saya biasanya mendapatkan lewat koran yang beritanya tentu harus menginap dulu paling tidak sehari. Jika ingin lebih cepat, bisa juga lewat radio atau TV, tetapi juga belum secepat sekarang yang semuanya serba real time.

Selama kepergian tersebut, kadang-kadang muncul juga rasa rindu kepada keluarga, terutama ketika malam hari tiba. Salah satu cara untuk mengobati kerinduan tersebut adalah kembali dengan cara lama yaitu dengan menulis surat. Ada rasa dan nuansa yang berbeda ketika menulis surat dengan tulisan tangan sendiri dibanding ketika menulis surat lewat email. Melalui tulisan tangan, sentuhan personal menjadi lebih terasa.

Saat itu saya menulis dua pucuk surat yang cukup panjang.Satu pucuk surat saya tulis untuk istri dan anak-anak, isinya tentang kerinduan dan harapan saya untuk mereka. Satu pucuk lagi saya tujukan kepada kedua orang tua saya, isinya tentang permintaan doa dan ucapan terima kasih atas didikan dan bimbingan beliau berdua selama ini.

Surat itu kemudian saya kirim lewat satu kantor pos di New Delhi, India. Belakangan saya baru mengetahui, ternyata surat tersebut tiba hampir bersamaan dengan kepulangan saya. Alamak, alangkah lambatnya perjalanan surat tersebut. Padahal semula saya sangat berharap kedua surat tersebut akan langsung diterima dan dibaca oleh keluarga saya. Saya baru sadar, berkirim surat secara manual ternyata telah menjadi bagian sejarah masa lalu yang kini telah banyak ditinggalkan orang.

Awal Januari 2009, saya mendarat kembali di Indonesia. Secara fisik, keadaan Jakarta masih seperti ketika saya berangkat, tidak ada perubahan yang signifikan. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk berbagai peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia.

Selama  kepergian tersebut saya ketinggalan begitu banyak informasi. Hal ini antara lain bisa saya ketahui dari ratusan email yang masuk ke inbox saya, sms di ponsel, berita online dan offline yang saya baca di kemudian hari dan juga laporan langsung dari istri dan anak-anak saya mengenai berbagai peristiwa dan kejadian yang terjadi di sekitar tempat tinggal dan lingkungan keluarga saya.

Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa mendunia yang selalu ditanyakan kepada saya setelah saya pulang yaitu Tragedi 26 Nopember 2008, ketika Mumbai diharubiru dengan serangan teror yang menelan korban 170 orang tewas dan 327 lainnya luka-luka.

Sesaat setelah peristiwa itu terjadi dan diberitakan di media massa, beberapa teman dan saudara saya yang tinggal di berbagai kota selalu menanyakan berita tentang saya kepada istri saya. Mereka khawatir saya menjadi salah satu korban dalam peristiwa tersebut, bahkan ada juga yang “iseng” dan mengkhawatirkan jangan-jangan saya terlibat dalam peristiwa tersebut. Istri saya yang tidak mempunyai informasi sedikit pun tentang saya juga bingung dan tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Dia hanya memohon doa, mudah-mudahan saya selalu dalam keadaan baik dan selamat.

Selama di India sendiri, saya juga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Saat itu saya sedang berada di Azamgarh, India Utara, letaknya sangat jauh dari Mumbai.

Itulah sekelumit pengalaman saya hidup tanpa gadget selama dua bulan. Ada plus dan minus yang dapat saya rasakan selama menjalani masa tersebut. Plusnya antara lain saya bisa terbebas dari berbagai informasi negatif yang sering membuat dada sesak, sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk meresponnya. Selain itu, saya juga tidak direpotkan dengan berbagai gadget yang kadang membuat hidup menjadi sangat tergantung dan terjajah dengan barang tersebut.

Sementara minusnya, saya mengalami lack of information, ketinggalan beribu bahkan berjuta informasi dari berbagai peristiwa yang terjadi di seluruh jagad raya ini.

Di masa mendatang, sesekali waktu saya masih punya keinginan untuk bisa kembali menikmati hidup tanpa gadget dengan segala plus minusnya, tentu saja dengan tempat dan durasi waktu yang berbeda. Mudah-mudahan Tuhan masih memberi kesempatan kepada saya.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun