Kampung Abangan
Kampung tersebut adalah sebuah kampung di wilayah Yogya utara, tempat mertua saya tinggal.Â
Dulu, kampung tersebut terkenal sebagai sebuah kampung "abangan", meminjam istilah Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java yang membagi sikap keagamaan orang Jawa menjadi tiga golongan; santri, abangan dan priyayi.
Ketika saya menyunting istri saya 25 tahun lalu, di kampung itu hanya terdapat satu masjid. Orang yang menjalankan ibadah shalat lima waktu juga tidak begitu banyak.
Pada tahun-tahun tersebut, orang-orang yang meramaikan masjid masih sangat sedikit. Untuk mengadakan kegiatan di masjid juga masih sulit, sering dicurigai oleh aparat dan pemuka masyarakat setempat.
Alhamdulillah seiring dengan perjalanan waktu, suasana tersebut lambat laun mulai mencair.Â
Para sesepuh yang dulu kurang suka dengan kegiatan agama, sedikit demi sedikit mulai luluh dan mau mendekat ke masjid. Kegiatan keagamaan yang dulu terasa sulit, sekarang menjadi sesuatu yang biasa.
Semangat beragama yang tumbuh luar biasa tersebut tak lepas dari hasil dakwah yang tak kenal lelah dari para pendatang.Â
Banyak di antara mereka yang kemudian menikah dengan penduduk setempat. Mereka adalah para pelajar dan mahasiswa yang tengah menimba ilmu di kota pelajar.
Kini, keadaannya sudah sangat berubah. Di kampung tersebut setidaknya sudah ada 4 masjid berdiri, termasuk salah satunya yang terletak di dekat rumah mertua saya. Suasana di kampung mertua saya saat ini menjadi semakin ijo royo-royo, meriah dengan berbagai aktivitas keagamaan.
Setiap kali pulang ke Yogya, saya selalu menyempatkan diri menunaikan shalat 5 waktu di masjid tersebut. Saya sering berbincang-bincang dengan bapak-bapak yang usianya sudah cukup sepuh.Â