Mohon tunggu...
Ali Zaenuddin
Ali Zaenuddin Mohon Tunggu... Penulis - Masih Mahasiswa

Analis Kebijakan Publik Pada Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik (IPKP) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Beragama di Era Disrupsi, Post-Truth Society dan Komoditas Simbolik

23 Juni 2020   23:01 Diperbarui: 23 Juni 2020   23:07 5084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (Sumber: Instagram/musabhamzacelik)

Hadirnya revolusi industri 4.0 meniscayakan kehidupan manusia yang serba mudah, cepat, dan instan melalui teknologi digital. Perkembangan ini memudahkan siapa saja untuk mengakses beragam informasi hanya dengan mengandalkan ujung jari kita. 

Dalam The Fourth Industrial Revolution yang ditulis Klaus Schwab, pada bagian lampirannya terdapat uraian sebanyak 23 yang disebutnya sebagai deep shift mewarnai revolusi industri. Diantaranya, kehadiran digital, komputer dan internet yang seakan memudahkan segalanya.

Salah satu ancaman yang disebabkan oleh hadirnya revolusi industri adalah Disrupsi atau Disruption. Merujuk pada KBBI, disrupsi diartikan sebagai sesuatu yang tercabut dari akarnya, ketercerabutan. 

Sedangkan menurut Rhenald Kasali, disrupsi adalah membuat banyak hal yang baru sehingga yang lama menjadi ketinggalan zaman dan tidak terpakai (doing thing differently, so others will be obsolete). 

Pembahasan seputar disrupsi, pada umumnya dikaitkan dengan teknologi yang mengubah berbagai hal secara teknis dalam kehidupan masyarakat secara fundamental. 

Namun, dalam prosesnya, disrupsi tidak hanya merambah hal-hal teknis yang menunjang kehidupan manusia, tetapi juga merambah kehidupan beragama yang dapat mengubah cara pandang hingga pada praktiknya merambah praktik keberagaman masyarakat. 

Akibat disrupsi, kehidupan beragama dalam masyarakat saat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Jose Cassanova dalam bukunya Public Religion in The Modern World, bahwa agama telah mengalami Deprivation. 

Artinya, deprivatisasi dalam konteks keberagaman yang pada awalnya merupakan wilayah yang bersifat privat, hanya dikhususkan bagi mereka yang memiliki kepakaran dalam ranah keagamaan dan bersifat otoritatif, kini telah terbiasa serta bertransformasi menjadi konsumsi publik.

Satu hal yang penulis khawatirkan dari fenomena disrupsi, khususnya yang merambah pada ranah keagamaan adalah terjadinya pergeseran secara mendalam terkait cara publik dalam membentuk paham keagamaan yang bisa mendisrupsi otoritas organisasi keagamaan seperti Majelis 'Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul 'Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Artinya, paham keagamaan mereka tidak lagi berdasarkan fatwa, instruksi atau petuah-petuah keagamaan dari kyai, ulama, atau ustadz. Namun pemahaman keagamaan mereka disasarkan pada teknologi dalam jaringan (daring), google, yang serba cepat dan instan dalam memberikan informasi keagamaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun