Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... profesional -

Peminat perubahan sosial

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Penegakan Anti Korupsi di PNPM Mandiri Perdesaan

13 Mei 2013   18:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:38 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 1 November 2012 lalu, dua orang pengurus UPK Panjalu Kabupaten Ciamis-Jabar , Imas Nurjanah (eks sekretaris) dan Nining Juaningsih (eks bendahara) menangis tersedu. Hakim pengadilan Tipikor Bandung, yang diketuai I Gusti Lanang, mengganjar mereka dengan vonis masing-masing 4,3 tahun dan 4 tahun hukum penjara.

Selain diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp.1,1 milyar, mereka juga diharuskan membayar denda sebesar Rp.200 juta dan apabila tidak sanggup diganti pidana kurungan 3 bulan. Vonis demikian sepadan dengan nilai kerugian yang ditanggung negara sebagai akibat tindak korupsi mereka terhadap dana BLM sebesar Rp.2,5 milyar.

Beberapa waktu lalu, Kejaksanaan negeri Garut telah menahan tiga orang tersangka penggelapan uang BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) di UPK Malangbong. Ketiganya yang mantan Ketua, Sekretaris dan Bendahara dituduh telah menggelapkan dana sebesar Rp.1,2 milyar.

Dalam cerita yang lain saat ini tengah berlangsung sidang di pengadilan Tipikor Bandung yang menghadirkan terdakwa Odah Aliyah. Ibu tiga orang anak yang mantan Ketua UPK Taraju Tasikmalaya diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan penggelapan dana BLM sebesar Rp.900 juta.

Modus terdakwa dalam tiga kasus tersebut hampir sama. Pertama, pembuatan kelompok fiktif (palsu) penerima bantuan dana bergulir program SPP (simpan Pinjam Perempuan) dan UEP (usaha Ekonomi Produktif). Kedua, perguliran otomatis yang artinya pencairan dana bergulir tanpa melalui mekanisme MAD (Musyawarah Antar Desa) sehingga tanpa kontrol.

Ketiga, penyalahgunaan dana tabungan kelompok peminjam. Keempat, adalah rekayasa laporan keuangan dana bergulir. Berbagai pasal yang menjerat mereka diantaranya pasal 2 ayat 1 jo pasal 3 jo pasal 9 ayat 1 jo pasal 18 huruf B UU 31 1999 tentang pemberantasan tipikor jo UU no 20 2001 tentang perubahan atas UU 31 1999 tentang pemberantasan tipikot jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pertanyaannya, PNPM Mandiri Perdesaan yang menganut Falsafah pemberdayaan, dengan prinsip pembangunan manusia seutuhnya, akankah menjadi cetek atau dangkal pendekatan saat menangani kasus sehingga menempuh jalur hukum sebagai penyelesaian?

Ya, tentu dibutuhkan kearifan melihat hal ini. Pertama, secara prinsip upaya mediasi terhadap tersangka agar mau mengembalikan dana yang telah disalahgunakan tak membuahkan hasil. Prinsip penyelesaian masalah di PNPM Mandiri Perdesaan dasarnya adalah non-litigasi. Artinya pendekatan persuasif agar yang bersangkutan mau mengembalikan dana yang disalahgunakan

Namun tahap ini tak membuahkan hasil, ditempuhlan langkah hukum. Harapannya, menjadi efek jera  terhadap pelaku lain khususnya pengurus UPK (Unit Pengelola Kegiatan) yang “rentan” melakukan hal serupa. Sebagaimana yang menjadi teori kejahatan, lemahnya penegakan hukum akan menjadi celah munculnya kejahatan serupa atau yang bahkan yang lebih kreatif.

Yang kedua, prinsip anti korupsi sejak awal sudah dijadikan prinsip pengelolaan kegiatan. Terjemahan teknisnya, seluruh pengelolaan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) harus transparan dan akuntabel. Selain melalui penggelaran informasi melalui forum-forum terbuka dan partisipatif, pelaporannya harus jujur dengan verifikasi antar pihak mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pusat.

Pertanyaanya, dimanakah implementasi prinsip pengelolaan tersebut karena pada kenyatannya toh tetap terjadi korupsi? Yang patut dicatat, selain nilai korupsinya sangat besar, mengapa tindakannya berbeda-beda? Ada yang langsung disidik untuk segera divonis, tapi ada pula yang lambat penanganan seperti dalam kasus korupsi di UPK Caringin Sukabumi?

Ya, memang tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Sebab, masalahnya menjadi kompleks karena menyangkut interest daripada penegak hukum, juga besar atau kecilnya dorongan masyarakat terhadap penyelesaian kasus tersebut cukup mempengaruhi. Salah satu concern PNPM Mandiri Perdesaan adalah pembangunan CBM (Community Based Monitoring) atau Pemantauan Berbasis Masyarakat.

Konsep ini memberi kesempatan masyarakat bawah untuk ikut terlibat dalam pemantauan realisasi dana BLM. Bila terjadi masalah, selain bisa diadukan kepada Fasilitator langsung yang berada di tingkat kecamatan, atau bisa juga secara online melalui sms atau email pengaduan. Pengaduan inilah yang akan menjadi penentu cepat atau lambatnya penangangan masalah.

Tentu sesuai dengan derajatnya, penyelesaian akan dilakukan secara lokal ditingkat desa atau kecamatan. Selain melaporkan kepada fasilitator untuk diaudit secara berjenjang, bisa juga dengan menyelenggarakannya MAD (musyawarah Antar Desa) Khusus yang difungsikan untuk memsdengan audit oleh fasilitator, atau dengan pembentukan TPM (Tim Penanganan Masalah).

TPM inilah yang menjadi auditor meskipun dalam taraf sederhana, namun modelnya cukup obyektif karena bisa langsung menanya kepada pihak-pihak di tingkat RT/RW. Dengan memverifikasi kebenaran antara data dengan kesaksian orang yang tersangkut namanya.Untuk validitas hasil audit, data awal tersebut bisa dijadikan dasar turunya tim audit kabupaten, provinsi ataupun pusat.

(Bersambung)

Penulis;Spesialis KIE

Komunikasi-Informasi-Edukasi

RMC III-Jawa Barat

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun