Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... profesional -

Peminat perubahan sosial

Selanjutnya

Tutup

Money

Jebakan Batman Fasilitator

5 November 2014   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Diskusi bernada galau terus mengemuka. Melalui sms, telephone dan percakapan langsung saya temukan itu. Diskusi yang mempertanyakan eksistensi. Dimulai dengan pertanyaan apakah program akan dilanjutkan?, kalau tidak dilanjut nanti kerja dimana?, bagaimana dengan cicilan motor dan rumah?. Bagaimana pula dengan biaya anak yang sedang kuliah di perguruan tinggi?

Peserta diskusi ini adalah fasilitator di PNPM Mandiri Perdesaan. Tak hanya di tingkat kecamatan, tapi juga tingkat kabupatn, provinsi dan diatasnya. Yang mengajak diskusi bukan hanya di Jawa Barat, tempat dimana saya tinggal, tapi juga di Jawa Timur, NTB, Bangka Belitung dan daerah lain yang menjadi lokasi PNPM Mandiri Perdesaan. Pertanyaan mendominasi adalah menyangkut kenyamanan ekonomi.

Bisa dimaklumi karena selama ini kurang lebih dalam lima tahun terakhir mereka berada pada comfort zone (situasi nyaman). Gaji terbilang cukup yang dibuktikan dengan nominal diatas UMK/UMR. Biaya yang dikeluarkan Negara untuk membayar gaji konsultan memang cukup besar. Ivanovich Agusta, sosiologi dari IPB, menyebut jika 69%  atau setara 450 juta US Dollar antara pada tahun 2012-2015 biaya program tersedot untuk biaya fasilitator.

Tentu menjadi hal yang harus dikritisi. Apakah bilangan tersebut parallel dengan pengurangan angka kemiskinan di lokasi sasaran. Dengan platform pemberdayaan, apakah benar terbuktikan bahwa di 75% desa lokasi telah berdaya baik dari segi kelembagaan, social, ekonomi, pendidikan ataupun infrastruktur. Sampai dengan sekarang belum dilakukan studi komprehensif menyangkut pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang akan menjadi evalusi bagi peran fasilitator yang selama ini dikontrak.

Posisi fasilitator memang banyak dimensi yang harus dilihat. Akan tetapi seiring dengan berakhirnya pemerintahan SBY yang menjadi naungan PNPM Mandiri Perdesaan, sudah pasti para fasilitator harus mandiri dalam menentukan nasib diri. Gaung keberdayaan harusnya dimulai dari diri sendiri. Selama ini program telah memberikan seperangkat pengetahuan yang bisa menjadi pemicu keberdayaan.

Ambil contoh dalam bidang usaha. Hampir Fasilitator khususunya ditingkat kecamatan dan kabupaten telah akrab dengan pengembangan usaha local desa. Melalui pembinaan kelompok SPP/UEP, tentu banyak pengamatan positif yang bisa menjadi inspirasi. Usaha keripik, krupuk, boled, dodol, telur asin, dan aneka produk yang sesungguhnya potensial dijual. Tentunya akan menjadi penghasilan yang lumayan jika ditata.

Sebagian fasilitator dengan alasan takut disebut double job enggan menggeluti peluang ini. Alhasil, mereka hanya menjadi motivator tanpa pernah terlibat secara langsung. Jadi kan aneh. Sebab, memberikan arahan pengembangan tetapi bukan pada mereka yang telah merasakan sendiri prakteknya. Inilah yang kemudian menjauhkan fasilitator dari keberdayaan ekonomi.

Wajar jika dengan akan berakhirnya program, banyak yang kaget dan merasa belum siap. Apalagi tak sedkit yang berusia tua (diatas 45 tahun). Tentu usia yang dari segi produktifitas kain menurun. Karena itu harus dimulai dengan penyiapan kemandirian usaha. PT HM Sampoerna pernah menempuh jalan ini. Beberapa bulan sebelum karyawan akan di berhentikan, mereka menyediakan paket pelatihan gratis kewirausahaan.

Tujuannya memberikan pembekalan ketrampilan dan pengetahuan agar mereka bisa eksis setelah keluar dari perusahaan.  Meskipun tak selamanya berhasil, tetapi pemberian pelatihan ini jauh lebih penting disbanding hanya memaksa fasilitator paham terhadap situasi. Bahasa yang sering dikeluarkan “ selesai yang sudah”, tentu bisa diubah dengan “aku harus siap”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun