DUKA SISWA Â BERPRESTASI SMKN 4 SEMARANG TEWAS DITEMBAK POLISI SAAT TAWURAN
ALISA EFANA PUTRI
Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo
Email :240111100007@student.trunojoyo.ac.id
Seorang pelajar SMKN 4 Semarang, inisial G (17), tewas setelah ditembak polisi yang berusaha melerai tawuran antarkelompok. Kabar kematiannya mengagetkan sekolah karena korban dikenal anggota Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) yang berprestasi.
Kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian kembali mencuat ke permukaan setelah seorang siswa SMK di Semarang tewas tertembak oleh polisi. Insiden ini memancing kemarahan publik karena dianggap menunjukkan kelalaian serius dalam prosedur operasional kepolisian. Kasus ini tak hanya menjadi tragedi bagi keluarga korban tetapi juga menciptakan tekanan besar bagi institusi Polri dalam menjaga profesionalisme anggotanya.Kronologi Kejadian Peristiwa ini terjadi saat polisi dikerahkan untuk membubarkan tawuran pelajar di sebuah kawasan di Semarang. Dalam kejadian itu, salah satu petugas diduga menggunakan senjata api yang merupakan barang bukti tawuran. Saat berupaya menertibkan situasi, senjata tersebut meletus dan mengenai salah satu siswa hingga meninggal dunia.Terkait insiden ini, muncul berbagai spekulasi tentang apakah senjata digunakan dengan sengaja atau tidak. Sementara itu, pihak kepolisian menyatakan bahwa kejadian ini adalah "kelalaian operasional." Pernyataan ini bukannya meredakan situasi, melainkan memancing kritik karena menyingkap persoalan yang lebih mendalam, yakni lemahnya pengawasan dalam penggunaan senjata api. Sementara itu, Kapolrestabes Kombes Irwan mengungkap hasil pemeriksaan urine Aipda R. Dia menanggapi informasi yang beredar anggotanya melepaskan tembakan dalam keadaan mabuk. Irwan menegaskan hasil tes urine dan darah Aipda R menunjukkan hasil negatif. Anggota yang melakukan upaya tindakan kepolisian harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setiap penggunaan alat dan sebagainya harus bisa bertanggung jawab. Pelanggaran Etika Profesi Kode etik kepolisian sangat jelas dalam mengatur penggunaan senjata api. Menurut Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009, penggunaan senjata api hanya boleh dilakukan dalam kondisi yang benar-benar mendesak dan berbahaya bagi keselamatan masyarakat atau petugas. Dalam kasus ini, penggunaan senjata api untuk mengendalikan tawuran tidak dapat dibenarkan, apalagi jika senjata tersebut adalah barang bukti yang seharusnya diamankan. Kelalaian ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip etika profesi yang mencakup akuntabilitas, penghormatan terhadap hukum, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, tindakan seperti ini mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, yang selama ini sudah berulang kali diterpa kasus serupa. Perspektif Hukum Pidana Selain melanggar etika, kasus ini juga memiliki implikasi hukum serius. Tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa "barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Dalam konteks ini, tindakan petugas yang lalai mengelola barang bukti dapat dikategorikan sebagai kelalaian fatal. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa setiap tindakan aparat penegak hukum yang mengakibatkan kerugian atau kematian harus dipertanggungjawabkan secara hukum, baik secara individu maupun institusi.
Kejadian ini memancing perhatian luas dari masyarakat, terutama para aktivis HAM dan lembaga pengawas kepolisian. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) segera mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam tindakan ini dan meminta dilakukan penyelidikan menyeluruh. Kompolnas menekankan bahwa senjata api adalah alat yang sangat berbahaya dan penggunaannya harus diawasi secara ketat. Masyarakat juga mempertanyakan sejauh mana pelatihan kepolisian mampu memastikan bahwa aparatnya memahami dan mematuhi prosedur penggunaan senjata. Banyak yang berpendapat bahwa kasus ini hanyalah puncak gunung es dari persoalan struktural dalam institusi Polri. Krisis Kepercayaan terhadap Aparat Penegak Hukum
Kasus ini menambah panjang daftar insiden yang memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum adalah fondasi penting bagi sistem hukum yang sehat. Namun, insiden seperti ini justru memperdalam jurang ketidakpercayaan, yang dapat menghambat penegakan hukum di masa mendatang.
Banyak pihak menyuarakan perlunya reformasi institusional yang lebih tegas untuk mencegah insiden serupa.
Untuk mencegah kejadian serupa, diperlukan langkah-langkah strategis, di antaranya:
1.Peningkatan Pelatihan dan Sertifikasi
Aparat harus dilatih secara berkelanjutan untuk memahami prosedur penggunaan kekuatan, termasuk pengelolaan senjata api. Pelatihan ini harus dilengkapi dengan evaluasi rutin untuk memastikan kompetensi setiap anggota.
2.Pengawasan dan Akuntabilitas
Mekanisme pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat. Setiap insiden yang melibatkan penggunaan senjata api perlu diaudit secara transparan, dan hasilnya disampaikan kepada publik.
3.Sanksi Tegas terhadap Pelanggaran
Untuk menciptakan efek jera, setiap pelanggaran harus ditindak tegas sesuai hukum. Hal ini mencakup pemberhentian anggota yang terbukti lalai atau sengaja melanggar prosedur.
4.Peningkatan Komunikasi Publik
Dalam kasus seperti ini, penting bagi kepolisian untuk menyampaikan perkembangan penyelidikan secara terbuka agar masyarakat merasa bahwa keadilan ditegakkan. Kasus penembakan siswa SMK oleh polisi di Semarang adalah tragedi yang seharusnya tidak pernah terjadi. Peristiwa ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan ketat terhadap perilaku aparat penegak hukum.
ada tiga siswanya yang terkena tembakan polisi. Selain G, dua korban lainnya berinisial  A DAN S . "A itu infonya pelurunya di dada, entah nyerempet atau bagaimana, tapi ada luka. Sudah dijahit, kurang tahu dibawa ke RS mana," paparnya.
"S pelurunya di tangan, infonya kalau dari keluarga sudah dikeluarkan dari RS Tugu, tapi keluarga masih nggak berkenan untuk didatangi," imbuhnya.
Sejumlah karangan bunga maupun ucapan belasungkawa bagi G berjejer di SMKN 4 Semarang. Di sekitar pigura berfoto korban, tampak pula beberapa poster yang mengutarakan kekecewaannya akan insiden yang menimpa G. Salah satunya 'cah nek nakal dikandhani ora ditembaki (anak kalau nakal diingatkan bukan ditembak).
Salah satu siswa SMKN 4 Semarang yang juga teman dekat korban, FS, menuturkan ia menyambut baik siapapun yang meletakkan karangan bunga serta ucapan belasungkawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H