Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Literasi Media atau Literasi Khalayak?

12 Juli 2013   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:38 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Terus terang saja Baraya Kompasianers, sayah mah agak-agak tersinggung kalau ada penyuluhan yang namanya ‘Literasi Media’ yang konon katanyah khalayak atau masyarakat alias penonton seperti sayah harus sadar alias melek media. Melek akan bahayanya media, melek kalau media menyajikan yang namanya kesadaran palsu, melek kalau media tidak selalu menyajikan kebenaran karena adanya realitas media yang tidak akan pernah sama dengan realitas yang sesungguhnya. Literasi media juga konon harus membuat khalayak cerdas dalam memilih isi media yang akan dikonsumsi. Cenah... kata orang-orang pinter itu. Sayah mah kata 'letarasi'-nya juga nggak tau artinya yang bener, kalau terasi baru sayah tau, hehe...

Tah, kenapa sayah agak tersinggung, karena sayah merasa, pandangan itu seperti menganggap khalayak atau penonton itu sebagai orang bodoh yang harus disadarkan. Pertanyaan sayah mah sederhana sajah, apa bener penonton kita itu masih bodoh dan harus diajari biar melek? Tah, bagian ini yang sayah tidak setuju. Sebagai penonton, saya merasa sebagian besar masyarakat Indonesia –jangankan yang di perkotaan, yang di kampung seperti para tetangga sayah di Cibangkonol juga-- sudah pada cerdas. Ambil contoh Ki Samud lah, tetangga sayah yang cuma jebolan SR (Sekolah Rakyat), itu juga nggak tamat. Waktu dia nonton sinetron yang ada naga terbangnya tapi para pemaennya sebagian pake baju kaos yang ada tulisan ‘Metallica’-nya, iseng saya tanya, “Kenapa nonton sinetron yang begituan Ki, kan itu mah cuma bohongan?” tanya sayah.

Ki Samud yang sedang serius nonton itu nggak melirik, tapi menjawab pertanyaan sayah, “Namanya juga pilem Yan, ya semuanya juga bohong atuh...” jawabnya. “Terus kenapa ditonton?” tanya sayah lagi. “Terus mau nonton apa lagi? Sinetron yang lain juga sama sajah. Nonton inpotemen juga sama, isinya orang bohong, pura-pura alim, pura-pura baik. Nonton debat politik sarua wae (sama saja), ngaku peduli rakyat padahal mah paduli teuing (peduli amat). Kalau sama-sama bohong mah sekalian sajah nonton sinetron yang sudah jelas bohongnya...” jawab Ki Samud, lagi-lagi tanpa melirik sayah.

“Tapi Aki nggak merasa dibohongi?” tanya sayah lagi. “Ah enggak, kan sayah sudah tau kalau sinetron mah bohongan. Prabu Siliwangi sama Pangeran Kiansantang di sinetron juga bohongan, setau sayah mah ceritanya nggak begitu. Lagian mana ada permaisuri sama putri jaman segitu pake lipen (lipstik) sama bedak menor begitu.. tapi ya ditonton sajah, buat hiburan...” jawabnya lagi. “Lagian mau nonton apa lagi? Memangnya ada pilihan lain?”

Tuh kan, Ki Samud saja sudah tau, sudah melek media menurut sayah mah. “Kalau misalnya ada sinetron Prabu Siliwangi atau Kiansantang yang bener, berdasarkan kisah nyata, sejarah yang nggak ditambah-tambahi, Aki mau nonton?” tanya sayah lagi. “Ya mau lah, sayah juga mau tau benernya Prabu Siliwangi itu seperti apa, apa bener ngahiyang jadi macan, atau hanya menyingkir dari kaduniaan...” jawabnya. “Sayah juga kan penasaran, pakean kerajaan jaman baheula itu seperti apa, istananya seperti apa, apa bener sakti seperti yang diceritakan sinetron atau dongeng orangtua. Nah, kalau ada mah pasti saya tonton. Tapi kan nggak ada...” lanjutnya.

“Tapi kalau kisah nyata kan belum tentu seru Ki?” tanya sayah lagi. “Ya biar saja, yang penting jelas, ini dongeng atau sinetron, atau ini kisah nyata berdasarkan kenyataan sejarah, jangan dicampur-campur... kalau dongeng ya saya nikmati sebagai dongeng, kalau kisah nyata ya sebagai bahan kanyaho (pengetahuan). Cucu sayah juga sudah tau kalau sinetron mah dongeng, waktu dia penasaran soal Pangeran Kiansantang yang bener, dia nyarinya di buku sama di internet...” jawabnya lagi.

Tuh kan? Penonton kita sekarang teh nggak sebodoh yang dipikirkan. Jadi menurut sayah mah, literasi media teh nggak diperlukan lagi. Kalaupun harus ada, itu buat anak-anak, yang memang masih belum bisa membedakan mana yang nyata dan bukan. Itu juga kayaknya bisa dilakukan dengan mudah oleh orang tua dan guru di sekolah.

Justru menurut sayah mah, maap kalau baraya Kompasianer kurang setuju, yang harus digalakan teh justru ‘Literasi khalayak’ alias ‘melek khalayak’. Jadi yang harus diberi penyadaran itu teh –menurut sayah mah justru medianya. Media yang harus disuruh melek, melek sama kebutuhan khalayak, melek sama tugasnya mencerdaskan khalayak. Sudah nggak jamannya lagi menganggap masayarakat kita bodoh dan bisa dibodohi, terus, karena berpikiran seperti itu, bikin acara teh seadanya saja, seenaknya, asal laku, asal banyak yang nonton, asal iklan rame. Bikin sinetron sejarah asal jelegur, nggak pake riset atau penelitian. Mikirnya, toh asal-asalan juga banyak yang nonton.. ya iyalah, kalau masyarakatnya nggak dikasih pilihan mah pasti ditonton!

Coba tah, gimana? Jangan cuma bilang ‘matikan aja telepisinya’  kalau acaranya nggak bermutu. Kalau semua acara telepisi nggak bermutu, terus tipinya buat apa? Hehe... Yaah ceritanya beda kalau seperti di luar negeri, pilihannya banyak, bisa nonton yang bayar –yang katanya acaranya lebih bagus, lebih bermutu—kan itu mah di luar yang penghasilan orangnya sudah tinggi, sudah bisa disuruh bayar buat nonton tipi. Di sini mah pan daripada keluar duit buat langganan tipi, mending buat biaya sekolah anak yang biar sudah digratiskan masih tetep aja banyak bayarannya...

Jadi tetep, menurut sayah mah, buat di Indonesia mah, yang harus disuruh melek duluan itu bukan penontonnya, tapi medianya, stasiun tipinya, para pembuat sinetronnya. Bagus juga sih menyuruh masyarakat melek media, tapi jangan cuma masyarakatnya saja atuh yang disuruh melek, tuh medianya juga yang juga harus duluan melek, jadi pan adil. Kalau masyarakat disuruh melek dalam milih tayangan, harusnya kan tipinya juga disuruh melek dalam membuat tayangan dan acara. Jadi, kalau masyarakat disuruh pinter memilih, ya yang bisa dipilihnya harus ada. Jangan nyuruh milih yang bagus, tapi pilihannya nggak ada. Kalau itu mah, sama juga bohong atuh...

Kumaha tah, stasiun tipi, KPI, Dewan Pers, AJI, PWI, AJTI, de el el, kira-kira pikiran sayah, nggak terlalu muluk bukan?

Sudah ah, Baraya Kompasianer, curhatnya sampey disinih dulu. Kalau kira-kira baraya nggak setuju sama pendapat sayah, ya harap dimaklum, namanya juga pendapat pribadi. Kalau sayah dianggap bodoh dengan pikiran sayah itu, berarti kan media belum berhasil membuat sayah cerdas, padahal sayah sudah lama jadi penonton tipi dan pembaca koran, biarpun gratisan.... hehe...

Jogja, 12 Juli 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun