"Bukannya nggak boleh, tapi itu namanya merebut lahan usaha orang. Di sini kan penjual keliling sudah banyak. Ada si Jana, Soleh, Mang Engkus, Sobirin.... Nah mereka saja jualannya beda-beda, biar nggak saling mengganggu. Jadi ada lahannya sendiri-sendiri...." Imbuh Mang Tarsu.
"Terus kenapa barangnya jadi ganti semua ini, nggak ada lagi panci, seeng, termos, jolang, ember?"
"Menyesuaikan dengan momentum atuh Kang, kan bulan puasa, jadi sementara ganti dulu barangnya yang ada kaitannya dengan puasa dan lebaran. Jadi sekarang bawanya ya ini, sirop, kueh kaleng, biskuit, korma, minyak zaitun, kerudung, mukena, sarung, kopiah, baju koko..." jawab Mang Tarsu sambil menunjukkan barang-barangnya.
"Kang, ngridit korma!" teriak Nyi Iteung dari dalam rumahnya. Mungkin ia mendengar omongan Mang Tarsu barusan. "Biar berasa puasanya!"
"Apa hubungannya korma sama puasa?"
"Ya ada atuh Kang, korma kan banyak disebut dalam kisah-kisah nabi. Misalnya, nabi sahur atau buka dengan sebiji korma... nah gitu..." Mang Tarsu menimpali.
"Terus sirop, kueh kaleng, biskuit, sama yang lain-lain ini, ada hubungannya dengan nabi juga?"
"Ya nggak ada, itu mah kebiasaan kita saja, tapi kan masih sesuai dengan anjuran nabi, supaya berbuka dengan yang manis-manis, entah itu sirop, biskuit, kan manis..."
"Memangnya kalau buka pake gula aren nggak boleh?" tanya si Kabayan lagi.
"Boleh saja, kan sama manisnya, malah lebih bagus karena tanpa pemanis buatan, pewarna buatan, dan pengawet makanan, tapi kalau pake gula aren terus, apa istimewanya dong, sama aja dengan hari biasa!"
"Lah kalau gula aren lebih bagus, kenapa di hari istimewa malah turun pangkat jadi minum yang pake pamanis buatan dan pengawet?"