"Aku yang bayar cicilannya! Kan aku narik!" sergah Jana.
"Kalau penumpangnya banyak! Kalau sepi? Terus tagihan numpuk? Motor dijual sawah hilang! Apalagi sekarang orang juga pada punya motor sendiri!" kata Jojoh.
"Nggak semua lah Neng, tetep akan ada penumpang. Orang tua, anak-anak..."
Jojoh menggeleng. "Nggak. Akang bantu saja saya di sawah. Motor itu biarin aja, jadi pengangkut gabah kalo panen, atau angkut pupuk!"
"Nggak mau ah, nyawah mah bayar orang saja!"
"Siapa yang bayar?"
"Kalau penumpang banyak, Akang yang bayarin. Yang penting motornya bagus, pasti lancar!" kata Jana, ngotot.
"Nggak ada ceritanya miara motor beli sawah, yang ada juga miara sawah beli motor!" kata Jojoh lag. "Lagian saya mah mending punya anak yang bangga menyebut orang tuanya sebagai petani, daripada tukang ojek!"
"Heh... jangan begitu..." kata Jana. "Anak-anak juga lebih bangga bapaknya naik motor daripada naik kebo!"
"Terserah!" kata Jojoh sambil berdiri.
"Neng Mau kemana?" tanya Jana sambil meraup sisa makanannya dan memasukkannya ke mulut sekaligus. Ia lupa kalau tadi sambelnya disisihkan karena telalu pedas. "Neng... Neng..." Jana megap-megap, mulutnya serasa terbakar. Celakanya, Jojoh lupa membawakannya air minum. "Neng, tulung Neng, minta air minumnya!"
Jojoh tak melirik lagi, "Minum aja tuh air irigasi!"
*****