Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (105) Perginya Sang Pelindung

15 Maret 2021   11:51 Diperbarui: 16 Maret 2021   14:57 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Romo Serafim.

"Saya bukan orang yang alim sejak pertama masuk sini," jawab Soso. "Saya berkeinginan untuk itu. Tapi dengan situasi sekarang, rasanya saya malah berjalan ke arah sebaliknya!"

"Bagaimana bisa?"

"Jujur saja, saya banyak membaca buku-buku yang dilarang oleh sekolah..." kata Soso. "Buku-buku itu sangat menarik, dan banyak yang membekas dalam ingatan. Saya mulai mempertanyakan soal keberadaan Tuhan dan lain-lain. Kenapa? Karena buku itu dilarang. Saya yakin Romo paham, anak-anak muda seperti saya, semakin dilarang semakin penasaran. Lalu mulai membacanya diam-diam, karena itu tak sulit, di luar sini banyak beredar buku-buku itu. Isinya makin mengakar dalam pikiran karena tak pernah diberi pemahaman. Doktrin melawan doktrin. Tanpa penjelasan, kenapa sebuah doktrin itu salah, dimana letak kesalahannya, apa alasannya..."

"Sekolah, guru-guru, hanya melarang. Dan menurut saya itu kesalahan besar," kata Soso lagi. "Seandainya buku-buku, atau pemikirannya dibahas di sini, di kelas, mungkin tidak akan seperti itu kejadiannya!"

"Tapi tak mungkin sekolah mengizinkan siswa untuk membaca buku itu di sini..." kata Romo Serafim.

"Memang bukan begitu maksud saya," kata Soso. "Tapi ketika buku-buku itu bicara tentang kelas, mengkritik kelas, berusaha untuk menghilangkan kelas yang terlihat sangat manusiawi dan masuk akal, di sekolah ini kelas justru dibentuk dan dilanggengkan. Bahasa Rusia dianggap lebih tinggi daripada bahasa Georgia atau yang lainnya. Guru harus dihormati karena kelasnya berbeda dengan siswa, bukan karena keilmuannya. Guru asal Georgia dianggap tak lebih hebat dari guru yang asli keturunan Rusia..."

"Aku paham maksudmu..." kata Romo Serafim. "Hanya saja, fisikku sudah tak kuat untuk bekerja lagi..."

"Romo tidak perlu bekerja setiap hari," sergah Soso. "Romo hanya perlu datang sesekali untuk meneladani semua, meluruskan yang keliru atau membenarkan yang salah. Itu sudah lebih dari cukup. Jadi, saya mohon Romo, jangan mundur dulu, jangan pensiun dulu!"

"Ya sudah, mungkin itu memang yang baik..." kata Romo Serafim. "Itulah makanya kupanggil kamu, supaya aku bisa mendengarkan pandangan lain selain dari laporan guru-guru, pengawas, dan juga Romo Germogen..."

Sejak itu, Romo Serafim semakin sering mengunjungi sekolah lagi. Kadang ia masuk ke kelas, menyapa guru dan siswa-siswa, mendatangi siswa yang dihukum, dan sebagainya. Sebentar-sebentar, tapi berkesan bagi siswa. Sebaliknya, membuat tak nyaman guru-guru, terutama Romo Germogen dan Inspektur Dmitri yang berkali-kali ditergurnya karena memberikan hukuman yang berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun