Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign: Melawan Bosan dan Godaan Tantangan Baru

14 Maret 2021   16:22 Diperbarui: 14 Maret 2021   16:33 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: forbes.com

Ini barangkali pekerjaan paling menyenangkan yang pernah saya alami sampai saat ini. Saya dan Ludhy, kawan saya itu, punya ruangan khusus yang boleh diberantakin. Nyetel kaset keras-keras, saluran internet lancar. Yang penting, pekerjaan beres. Saya malah sekalian tidur di kantor karena memang sebelumnya anak kos.

Gajinya juga lebih dari cukup. Tahun pertama, 300 ribu sebulan. Tahun kedua, gajinya naik lagi, menjadi 500 ribu per bulan. Angka yang sangat besar saat itu. apalagi buat mahasiswa yang jomblo seperti saya. Itu masih belum ditambah dengan honor penyelenggaraan kegiatan yang hampir tak putus-putus. Belum lagi pelatihan di mana-mana yang membuat saya sering melakukan perjalanan ke luar kota.

Mungkin gara-gara itu, kuliah saya makin kedodoran. Padahal tinggal skripsi saja. Akhirnya, ketika waktu sudah mepet, dan nyaris ditendang dari kampus karena sudah hampir tujuh tahun, skripsi selesai juga. Saya jadi sarjana, dan sudah punya pekerjaan dengan penghasilan yang lebih dari lumayan.

Tahun 2001 saya mulai bimbang. Pekerjaan saya di LSM itu memang nyaman, kerjanya santai, pakaian bebas, makan gratis, tidur di situ, penghasilan lebih dari cukup. Tapi ada saya merasa itu bukan pekerjaan impian saya. Cita-cita saya --waktu itu---adalah kerja di sebuah media massa besar di ibukota.

Dengan berat hati, saya mengundurkan diri (resign), alasannya, ada pembukaan lowongan di sebuah media besar di Jakarta. Bos-bos melarang, "Jangko mundur, pergi saja dulu, nanti kalau diterima baru mundur. Kalau tidak, balik lagi saja!" kata bos tertinggi di kantor.

Meski diongkosi, saya berangkat ke Jakarta dengan membawa semua barang saya. Tujuh tahun mengembara di Makassar, akhirnya harus disudahi. Setidaknya begitu yang saya pikir. Percaya diri saya bisa diterima di media itu. Dan memang begitu kenyataannya. Saya lapor bos, kalau saya tak akan kembali karena sudah diterima. Mereka tak bisa apa-apa. Saya hanya diminta untuk tetap membantu pekerjaan yang bisa dikerjakan dari jauh.

Sayangnya, meski sudah berada di media besar di ibukota, dekat pula dengan kampung orang tua di Ciamis, tiga bulan kemudian saya mendapat kabar 'buruk.' Saya akan ditempatkan di Kupang, NTT! Duh, baru saja menikmati suasana ibukota, kok harus 'dibuang' ke tempat yang jauh lagi. Mimpi menaklukkan ibukota terancam. Saya galau.

Putusan itu tak bisa ditawar. Dan pilihan saya adalah mundur. Biarlah tidak bekerja di media besar, yang penting di Jakarta. Untungnya, tak lama menganggur, karena banyak senior kampus yang sudah mapan di Jakarta. Berbekal 'reputasi' saya diajak bergabung dengan sebuah majalah yang baru dirintis. Di situ, karena saya juga menguasai desain grafis termasuk lay out majalah, saya kerja rangkap, sebagai reporter dan juga desainer grafisnya.

Meski juga penghasilannya lumayan, bahkan dikasih kendaraan dinas, sepeda motor yang boleh saya bawa pulang ke kosan, saya mulai berpikir untuk mencari tantangan baru. Industri televisi begitu menggoda saat itu. Banyak adik-adik angkatan yang datang ke Jakarta dan bergabung dengan stasiun televisi yang makin banyak. Melihat mereka bekerja, wara-wiri kemana-mana, sesekali nongol di TV, kok kayaknya asyik.

Saya merevisi cita-cita saya. Saya bertekad ingin masuk dunia televisi. Dan saat itu, berpikir bahwa itu akan menjadi karir saya terakhir jika diterima. Saya pun mulai mencari jalan untuk bisa bergabung dengan pekerjaan impian itu.

Sampai akhirnya, kesempatan itu datang. Sebuah stasiun TV swasta yang cukup ternama, yang baru saja mendapatkan kontrak untuk penyiaran penyelenggaraan Piala Dunia tahun 2006 (di Jerman), membuka lowongan. Seorang kawan yang sudah lebih dulu bergabung mengajak saya. Saya langsung mengiyakan, mundur dari tempat lama dan langsung bergabung tanpa proses rekruitmen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun