Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (92) Ajakan ke Novorossiysk

1 Maret 2021   20:19 Diperbarui: 2 Maret 2021   21:01 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (91) Tergoda Lagi

*****

Sudah lima malam Soso tinggal di rumahnya Natela. Pak Didi sama sekali tak mencarinya, karena siang hari Soso masih berangkat ke Balai Kota dan bertemu dengannya. "Ya kalau kamu suka tinggal di sana ya nggak apa-apa..." katanya.

Soso sendiri malah nyaris kerasan tinggal di rumah Natela. Pertama karena di sana ada yang menemani, dan yang kedua karena ia merasa lebih bebas. Tinggal di rumah Pak Didi ia agak tak nyaman karena ada istri dan anaknya. Selain itu, perbincangan dengan Pak Didi, setiap malam, agak membosankan, mungkin karena cara berpikirnya yang berbeda, sehingga rada-rada nggak nyambung. Beda dengan Natela yang bisa diajak berbincang apa saja, dari yang serius hingga yang remeh.

Satu-satunya yang sering mengganggu perasaannya hanyalah ketika dia berpikir tentang dosa. Dosa jika ia menghubungkannya dengan Tuhan. Tapi di saat yang sama, ia juga 'berdosa' dengan Natela berbeda dengan 'dosa' bersama Bonia dan Natasha. Bonia sudah menjadi adik tirinya, dan itu benar-benar membuatnya tak nyaman. Sementara Natasha memiliki suami. Tapi dengan Natela, ia tak punya 'halangan,' karena perempuan itu hidup sendiri, seperti dirinya yang juga tak terikat apapun.

Bersama Natela ia merasa 'nyaman' karena tak ada orang lain yang harus dilibatkan dalam dosanya itu, selain mereka berdua. Hanya saja, Soso makin sering berpikir, apakah bagi setiap laki-laki seumurannya, hal itu sesuatu yang normal? Ia tak tahu soal kawan-kawan sekolahnya, apakah ada yang seperti itu. 

Setahunya, memang banyak yang diam-diam pergi ke rumah bordil di Bazaar Armenia, tapi siapa saja yang ke sana, ia tak tahu. Mungkin juga ada kawan dekatnya yang pernah ke sana, tapi tak bilang-bilang. Sementara kawan-kawannya di luar seminari, si Lado, Silva, Nunu, tampaknya sih sudah biasa, karena kisah mereka dengan Natasha juga sudah diakui oleh si Lado sendiri. Belum lagi mungkin dengan perempuan-perempuan yang lain.

Ia juga tak tahu tentang gadis-gadis seumurannya, baik yang sedikit lebih muda atau yang lebih tua. Apakah juga mereka biasa menggoda laki-laki yang disukainya, atau sebaliknya menjadi korban godaan laki-laki. Mungkin juga! Ia teringat bagaimana dulu Bonia dengan sengaja mengiriminya celana dalam sebagai bagian dari pernyataan bahwa 'ia ingin digoda' oleh Soso, sesuatu yang saat itu malah tak diketahuinya.

Itu mungkin cara gadis-gadis 'bau kencur' menggoda laki-laki. Sementara perempuan yang lebih 'matang' seperti Natasha dan Natela, menggoda dengan cara yang lain. Soso juga sudah 'belajar' menghadapinya. Ia sudah belajar dari Bonia dan Natasha yang membuatnya merasa tersiksa, itu karena ia melibatkan perasaannya sendiri. Sementara dengan Natela, ia tak melibatkan perasaan, seperti juga --sepertinya---yang dilakukan oleh Natela.

Dengan Natela, ia tak berpikir akan seperti apa nanti hubungannya. Natela pun tampaknya demikian, hari ini ya hari ini, besok-lusa, urusan nanti. Tak pernah sekalipun mereka bicara 'masa depan' hubungan mereka. Kalau besok Soso meninggalkan Poti dan kembali ke Tiflis, ya sudah. Dan justru itu yang membuat Soso nyaman. Sama nyamannya dengan hubungannya dengan Sabine, gadis Jerman itu, yang sedari awal tak dikaitkan dengan urusan birahi, hanya sebuah pertemanan tulus yang membuat keduanya sama-sama nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun