Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (86) Renungan dalam Kereta

21 Februari 2021   21:10 Diperbarui: 22 Februari 2021   22:01 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Semua itu, tak mungkin terjadi, jika di St Petersburg sana, yang berkuasa adalah Tsar, dimana kekuasaan diturunkan hanya dalam lingkaran keluarganya saja. Jika begitu, Georgia --dan yang lain-lain---hanya akan dianggap sebagai properti pribadi. Makanya, masuk akal keinginan orang seperti Pangeran Ilia untuk memerdekakan Georgia itu, karena selama Tsar masih ada (dan hanya ganti orang), nasib Georgia takkan pernah berubah. Bukan hanya Tsar yang melihat Georgia sebagai sapi perah, tapi juga orang-orang Rusia lainnya yang bukan berasal dari lingkungan kekaisaran. Orang-orang seperti ini yang mengambil keuntungan lebih banyak.

Soso teringat pula diskusinya dengan si Said, saat dia masih akrab dulu, soal piramida kelas, dimana semua orang bisa bergerak naik sesuai dengan kemampuannya. Orang-orang di dasar piramida, tak selalu harus berada di dasar. Kalau ia mau dan mampu, bisa begerak naik, bahkan hingga ke puncak. Sebuah konsep yang tak mungkin bisa diwujudkan ketika Tsar masih ada, karena selamanya mereka akan berada di sekitar puncak. Sementara orang-orang Georgia, selamanya akan berada di dasar piramida itu.

Ada satu konsep lain yang menarik juga, sayangnya belum pernah ia pelajari dengan baik, yakni konsep satu kelas, dimana semua orang adalah sama, dan bekerja untuk kepentingan bersama.

Dua konsep itu menurut Soso, ada kelebihan dan kekurangannya. Tergantung akan diterapkan di mana. Apakah akan diterapkan dalam sebuah wilayah besar --seperti seluruh wilayah yang dikuasai oleh Kekaisaran Rusia yang konon sangat luas, atau hanya untuk di wilayah Georgia saja.

Ia sendiri, lebih tertarik dengan sebuah konsep wilayah besar, dimana satu wilayah membantu wilayah lain dalam satu hal. Misalnya wilayah laut membantu yang di darat dalam hal suplai makanan laut, dan sebaliknya. Wilayah yang kekurangan, bisa dibantu oleh wilayah lainnya, dengan 'membayarnya' melalui hal lain. Tapi konsep itu sulit diterapkan jika hanya menjadi 'Georgia' karena wilayahnya yang kecil. Tak semua kebutuhan orang bisa dipenuhi oleh wilayah lain.

Masalahnya, potensi besar dari wilayah besar itu, saat ini, hanya dinikmati oleh lingkungan keluarga Tsar saja.

Sayup-sayup, ia mendengar gagasan orang-orang di Rusia sana untuk mengakhiri sistem kekuasaan Tsar. Menurut cerita Sabine, hal itu juga terdengar di Jerman. Ia tak tahu di tempat lain seperti Perancis, Italia, Spanyol dan juga Britania. Atau juga di wilayah Asia seperti Otoman dan Persia. Pengetahuannya masih terlalu terbatas. Bahkan Kekaisaran Rusia yang katanya paling luas di dunia ini, ia juga tak tahu seberapa luas. Ia tak punya bayangan. Gambar-gambar di peta yang ia lihat, tak terlalu meyakinkannya. Jangan-jangan itu hanya karangan Tsar agar orang-orang merasa bangga, tanpa tahu apa sebenarnya untungnya bagi mereka.

Soso membayangkan, jika wilayah seluas itu tidak hanya dikelola oleh dan untuk kepentingan Tsar, tapi oleh semua orang yang berada di dalamnya. Entah itu dengan sistem piramid atau sistem satu kelas. Jika itu terjadi, rasanya tak perlu lagi berpikir sempit soal Georgia semata, selama orang Georgia juga punya hak untuk bisa berpartisipasi dan memiliki hak yang sama dengan wilayah lain.

Ia tersenyum sendiri saat menghubungkan hal itu dengan dirinya sendiri. Seorang anak tukang sepatu yang keluarganya berantakan, sedikit bernasib baik dengan punya kesempatan belajar di seminari, bukannya berpikir soal agama dan Tuhan, tapi lebih sering memikirkan tentang hal-hal 'besar' yang bahkan tak pernah dipelajarinya secara formal. Jangan-jangan, ia hanya memimpikan sesuatu yang terlalu jauh dan tidak terjangkau.

Pangeran Ilia dan Tuan Nikoladze yang bersekolah tinggi hingga ke St Petersbug saja, rasanya tak bermimpi sejauh itu. Entah karena memang mereka tidak pernah memimpikannya, atau bersikap realistis. Yang jelas, setidaknya, keduanya bukanlah orang yang pesimis. Itulah yang ingin ia tiru dan terapkan dalam dirinya sendiri; sulit boleh, pesimis jangan.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun