Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (86) Renungan dalam Kereta

21 Februari 2021   21:10 Diperbarui: 22 Februari 2021   22:01 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Selain itu, ia juga sudah menemui Sabine, gadis Jerman yang bekerja di kedai seberang rumah kontrakan si Lado. Padanya ia mengatakan akan berangkat ke Poti, seperti yang dikatakan kepada bapaknya.

Tak ada maksud tertentu saat Soso menemui gadis itu. Sabine memang menarik, tapi Soso merasa hubungan dengannya sangat jelas, hanya sebuah pertemanan yang sama-sama menyenangkan. Tak lebih dari itu. Ia tak punya 'rasa' lain selain itu. Ia tahu, Sabine sudah akan bertunangan, dan ia memang tak berpikir untuk macam-macam.

Sabine juga tampaknya begitu, berteman dengan Soso benar-benar sebatas teman saja. Mungkin karena dia memang tak punya banyak teman ngobrol di Tiflis, selain di lingkungan tempat kerjanya, atau di rumahnya.

Soso menemui Sabine hanya untuk menitipkan pesan pada si Lado, jika suatu saat ia melihatnya kembali ke kontrakannya. Kawannya itu harus tahu kalau Soso baik-baik saja dan sedang 'menenangkan diri' di tempat lain, di Poti. Toh, tak ada juga yang tahu tujuannya di Poti, selain Pangeran Ilia.

*****

Jalur kereta Tiflis-Poti itu, makin lama makin diakrabi oleh Soso. Termasuk ngarai-ngarai, bukit-bukit, perkampungan-perkampungan kecil dan juga kota-kota yang dilaluinya. Tiga tahun meninggalkan Gori untuk merantau di Tiflis, rasanya ia makin mengenali negeri leluhurnya itu yang sudah sekian lama terpisah-pisah, pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, sebagian dicaplok Otoman, sebagian oleh Persia, lalu menjadi 'utuh' setelah dicaplok Rusia.

Secara tidak langsung, Rusia 'berjasa' menggabungkan lagi wilayah-wilayah Georgia itu, termasuk juga wilayah Guria atau Ajaria yang paling akhir. Meski berada di bawah kuasa Rusia, setidaknya, wilayah-wilayah yang dulunya terpisah-pisah sekarang saling terhubung kembali. Orang-orang di wilayah-wilayah itu merasakan kembali menjadi orang Georgia, setelah sebelumnya menyebut diri entah itu sebagai orang Imereti, Kartli, Kahketi, dan lain-lain.

Jalur-jalur kereta yang dibangun Rusia, meski belum menyentuh semua wilayah, dan untuk kepentingannya sendiri, secara tidak langsung juga menghubungkan orang-orang Georgia, secara fisik dan bathinnya. Mungkin hanya orang di Abkhazia saja yang masih belum merasa bener-bener Georgia, karena memang wilayah itu selain berada paling barat sendiri, juga orang-orangnya lebih beragam, hanya sedikit yang merasa sebagai orang Georgia.

Untuk saat ini, mungkin itu tak penting, toh wilayah-wilayah Georgia lainnya juga tidak memiliki kekuasaan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Tak ada bedanya Abkhazia itu dengan Armenia dan Azerbaijan yang sama-sama dikuasai oleh Rusia.

Jika kelak menjadi negara mandiri seperi yang diimpikan oleh orang seperti Pangeran Ilia, sulit rasanya mengajak Armenia dan Azerbaijan untuk bergabung. Sejarah mereka berbeda, termasuk juga orang-orangnya. Tapi Abkhazia masih bisa diajak, karena masih banyak orang Georgia di sana, meski mungkin agak sedikit sulit. Bisa jadi mereka nyaman bergabung dengan Rusia, atau mungkin juga berpikir untuk mengelola wilayahnya sendirian.

Soso sendiri, seperti yang pernah dikatakannya kepada Pangeran Ilia, tak terlalu tertarik dengan ide kemerdekaan Georgia sebagai sebuah negara. Baginya, selama Georgia dianggap sebagai wilayah Rusia yang memiliki hak yang sama, itu tak masalah. Siapa tahu ada orang-orang Georgia yang bisa sampai menjadi orang penting di St Petersburg dan bisa memajukan negerinya. Orang seperti Tuan Nikoladze itu. Meski menurutnya, itu masih terlalu kecil. Itu juga bukan karena orang Georgia diberi kebebasan mengurusi wilayahnya, tapi lebih karena pendekatan personal belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun