Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Memupuk Rindu Saat LDR

16 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 16 Februari 2021   12:39 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, diolah dari Dreamstime.com

Menjalani hubungan jarak jauh (Long Distance Relationship, LDR), saat ini, seharusnya bukan lagi sesuatu yang harus ditakutkan. Teknologi komunikasi yang semakin mudah dan murah, membuat semuanya bisa 'diakali.' Satu-satunya yang belum bisa diakali, termasuk oleh teknologi, hanyalah soal sentuhan fisik. Itu saja.

Sebelum komunikasi semudah saat ini, jarak seringkali menjadi momok dalam sebuah hubungan. Hubungan apa saja, hubungan asmara, suami-istri, orangtua-anak, persahabatan, dan sebagainya. Membayangkan akan berpisah dengan orang-orang terkasih jelas berat; tak lagi bisa bersua, tak terdengar suaranya, tak terlihat batang hidungnya, tak tercium bau keteknya, tak terdengar omelannya, dan lainnya.

Itu saya alami tahun 94, ketika memutuskan untuk kuliah jauh, dari Ciamis ke Makassar, dari Jawa ke Sulawesi. Saya sendiri tak terlalu memikirkannya. Tapi ibu yang cemas. 'Perpisahan' terjauhnya dengan anaknya hanya ketika kakak saya kuliah di Bandung. Tapi itu jelas tak masalah, Ciamis-Bandung hanya 5 jam berkendaraan. Ada saudara yang menjadi sopir angkutan Bandung-Ciamis, PP, kalau ada apa-apa bisa dititipi pesan atau barang.

Tapi Ciamis-Makassar? Perjalanan secara fisik saja sudah 'berat.' Kalau mau naik pesawat, dari Ciamis harus ke Jakarta dulu yang butuh waktu sekitar 8 jam, lalu naik pesawat yang harganya waktu itu tak bisa dikatakan murah. Naik kapal laut pun begitu, dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta butuh dua hari dua malam, atau sehari semalam kalau dari Tanjung Perak Surabaya, hanya kan ke Surabaya nya pun perlu waktu hampir seharian.

Itu yang fisik. Urusan lainnya juga sama-sama butuh waktu. Berkirim surat, paling tidak butuh waktu tiga hari, kalau kilat, yang biasa, bisa semingguan. Begitupun pengiriman uang lewat wesel pos yang butuh waktu kurang lebih sama, plus urusan pencairan yang juga butuh waktu.

Kabar cepat bisa lewat  telepon, karena kebetulan saya kos di tempat yang induk semangnya punya saluran telepon, tapi itu pun tak mudah. Dari kampung, karena tak punya sambungan telepon di rumah, bapak atau ibu harus ke kota, mampir ke kantor Telkom untuk interlokal, yang biayanya juga tak bisa dibilang murah. Hanya hal-hal penting saja. Itupun tak selalu bisa langsung berbincang dengan saya, karena tak selalu di kosan, kadang hanya menitip pesan. Sebaliknya, kalau saya yang perlu, saya bisa mudah mencari akses telepon, tapi tak ada yang bisa ditelepon.

Makanya, emak, ibu saya, sangat khawatir soal itu. Takut saya kehabisan uang lah, sakit lah, ada apa-apa lah, karena memang di Makassar tak punya sanak-saudara. Kenalan pun tak punya. Tujuan awal saja tak ada. Benar-benar sendirian.

Saya hanya berkirim surat sekali, mengabari alamat dan lain-lain. Setelah itu, saya tutup dengan kalimat yang intinya, tidak perlu menunggu surat-surat saya. Anggap saja saya baik-baik saja. Sebaliknya, kalau saya berkirim surat, mungkin malah ada apa-apa.

Komunikasi selalu dimulai dari kampung, entah itu bapak atau ibu yang menelpon, itupun tak selalu beruntung bisa berbincang langsung. Kadang malah bapak berbincang dengan ibu/bapak kos, menanyakan keadaan saya pada mereka. Alhamdulillah memang tak pernah ada 'apa-apa' sakit pun biasa saja, tak pernah sakit yang mengkhawatirkan, paling pilek atau masuk angin.

Itu dengan keluarga. Saat saya meninggalkan Ciamis, saya juga sedang 'berhubungan' dengan seseorang, adik kelas --saya kelas tiga, dia kelas satu---sama-sama aktif di teater. Kalau dengannya, komunikasi lebih mudah. Dia bisa menelpon ke kosan, atau sebaliknya, saya bisa menelpon ke rumahnya. Tapi ya itu juga jarang, karena mahal. Yang paling sering adalah berkirim surat. Setidaknya sebulan sekali ia mengirim surat, dan saya membalasnya. Berkabar apa saja, banyaknya ya yang nggak terlalu penting, karena memang tak ada yang penting.

Perasaan paling menyiksa adalah saat lebaran, terutama Idul Fitri. Lebaran pertama, saya tak bisa pulang, kehabisan tiket kapal laut. Lebaran pertama di perantauan, hanya berdua di kosan dengan kawan lain yang juga tak mudik. Kosan yang biasanya ramai dengan 40-an orang penghuninya, mendadak sunyi. Kawan yang tak pulang adalah senior, asal Kediri. Ibu bapak kos juga mudik ke kampungnya di Bone beberapa hari sebelum lebaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun