Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Catatan 90s: (5) Tidit Tidit... Saya (Pernah) Punya Pager

15 Januari 2021   07:51 Diperbarui: 15 Januari 2021   07:56 3836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pager alias penyeranta (gambar: silicon.co.uk)

Tidit tidit, pajerku berbunyi

Tidit tidit, begitu bunyinya...

Potongan litik lagu dari grup hiphop Sweet Martabak itu begitu lekat di akhir tahun 90-an. Sebagian orang mungkin lebih mengingat potongan lagu itu ketimbang penyanyinya. Singel dari duo penyanyi John dan Ferry itu muncul di album Pesta Rap. Setelah itu, nyaris tak terdengar lagi.

Nasib Sweet Martabak, mungkin senasib dengan sebuah benda yang jadi cerita dalam lagu itu; pager, pajer, atau dalam Bahasa Indonesia baku disebut dengan penyeranta. Layanan pager di Indonesia sudah ada sejak tahun 1980-an. Ada penyedia layanan yang terkenal saat itu, Starko. Belakangan muncul beberapa nama lain, salah satunya adalah SkyTel. Perangkatnya sendiri --umumnya berbentuk kotak kecil segenggaman tangan---paling banyak ditemukan adalah Motorola.

Meski sudah lumayan lama, singat saya, benda kecil ini justru populer di akhir tahun 90-an. Bukan karena lagu tadi. Lagu itu justru terilhami oleh benda kecil yang popularitasnya sedang menanjak, terutama di kalangan anak muda.

Waktu pager populer, handphone belum populer. Kalaupun ada, masih generasi awal yang bentuknya besar, cukup ampuh buat dipakai senjata menimpuk kepala orang. Itupun hanya untuk menelpon, bukan berkirim pesan tertulis. Mahal pula perangkat dan biaya pemakaiannya.

Saya sendiri pertama punya pager tahun 97-an. Pake layanan Starko. Dibeli dari seorang kawan yang entah mau pindah layanan atau ganti alat. Waktu itu saya memang sudah tidak lagi menggantungkan hidup dari kiriman orang tua. Saya sudah dibekali perangkat kamera SLR analog merek Yashika oleh bapak. Kamera itu saya gunakan untuk mencari nafkah; jadi fotografer sembarangkalir, nikahan oke, model oke, apa saja. Si pager itu menjadi kontak bisnis saya.

Tapi karena dibeli dari kawan yang sudah lama menggunakannya --membeli perangkatnya berikut nomor ID-nya---persoalan yang menjengkelkan muncul. Pager saya lebih banyak berbunyi pesan nyasar; pesan untuk kawan saya itu. Tidit tidit, kirain orderan, taunya pesan nyasar. Ya sudah, karena muncul operator baru, dan nomer lungsuran dari kawan itu belum terlalu populer, saya segera ganti ke SkyTel. Modelnya juga lebih seger, nggak cuma berwarna hitam. Saya pake yang warna kuning.

Yang ini lumayan hoki. Setidaknya sudah tak ada lagi pesan nyasar. Orderan lumayan lancar. Dan yang paling asyik, merasa gaya dengan menempelkan benda kecil itu pinggang, dekat dengan sabuk celana.

Pake pager memang lumayan membantu urusan bisnis dan lainnya. Tapi pake pager sebetulnya nggak praktis-praktis amat. Orang yang perlu mengirim pesan kepada kita harus menelpon operator, menyebutkan nomor ID yang ditujunya, lalu menyebutkan pesannya. Pesan itu kemudian dicatat operator dan dikirimkan ke penerima, tidit tidit... pesan pun sampai (selama dalam wilayah jangkauan layanan, mirip sinyal hape lah...)

Bagi penerima, pesan yang diterima juga seringkali merepotkan. "Tolong hubungi saya, Penting. Soni." Menghubunginya bagaimana? Ya telpon lah atau temui orangnya langsung. Nggak mungkin banget berbalas pesan lewat pager. Merepotkan karena harus bolak-balik menghubungi operator. Benda itu nggak interaktif!

Karena melalui 'orang ketiga' pesannya juga sering mengalami distorsi. Ini pernah alami, dan bikin keki (masih inget kata ini? Hehe). Suatu ketika, saya dapet pesan, "Ditunggu di rumah nanti sore. Mia." Beuuh... itu pesan istimewa sodara-sodara. Saya menganggap pesan itu sebagai sebuah ajakan kencan. Maklum, saya lagi pedekate sama cewek yang bernama Mia. Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda menggembirakan. Jadi bagi saya, pesan itu adalah sebuah sinyal positif! Makanya sejak menerima pesan itu, hati sudah berbunga-bunga. Menjelang sore mandi, pake baju kaos terpilih, T-shirt hitam merek C59 Bandung yang gambarnya keren-keren itu.

Dan sore itupun saya langsung meluncur ke TKP. Apa yang terjadi? Mia menyambut saya dengan biasa saja. Kayaknya malah kaget dengan kedatangan saya. Masih bagus nggak diusir juga. Saya tanya kemudian soal pesan di pager itu. Dan dia bilang, dia nggak pernah ngirim pesan, nomer pager saya juga katanya dia nggak tahu! Nah lho!

Keesokan paginya, saya dapet pesan lagi. "Dari kemarin ditungguin kemana aja. Maya."

Bujubuneng.... Ternyata yang mengirim pesan itu bukan Mia, tapi Maya. Kalau si Maya memang lagi ada urusan sama saya, dia mau ngasih order motret nikahan kakaknya!

Untunglah order itu masih bisa diselamatkan. Saya segera menemuinya, dan belum terlambat. Saya tunjukan pesan di pager sebagai alasan. Dan memang salah, di pager tertulis Mia, bukan Maya. Dia hanya tertawa soal itu. Beruntung pula saya dan Maya nggak ada hubungan 'apa-apa.' Kalau ada, kan gawat, bisa dituduh selingkuh!

Kisah pager itu berakhir tahun 98 saat saya pergi KKN selama dua bulan. Jauh. Nggak ada layanan. Akhirnya tak bayar iuran bulanan dan mati. Ya sudah, balik ke Makassar saya putuskan saja sekalian. Kemudian berganti pacar baru, sebuah handphone Nokia seken seharga 650 ribu, sementara nomornya sendiri saya beli 750 ribu (Mentari, soalnya kalau Simpati lebih mahal lagi, bisa satu jutaan). Nomor sama hapenya lebih mahal nomornya, itupun bukan nomor cantik. Tapi lumayan lah, meningkatkan kredibilitas dan gengsi, sedikit naik kelas dari pager yang menjengkelkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun