Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (10) Solidaritas di Pabrik

6 Desember 2020   05:30 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:44 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumlah pekerja yang tak lebih dari 30 orang itu berkumpul bersama, tak lagi mengenal asal. Tak lagi berkelompok-kelompok berdasarkan jenis pekerjaan. Lelaki Armenia yang kemarin memimpin pekerjaan membersihkan pabrik, panggilannya Pak Samvel, memimpin ‘rapat darurat’ itu. Awalnya ia terlihat terpaksa memimpin karena ditunjuk si Kustov itu. Tapi karena nggak ada seorang pun pekerja berpangkat mandor yang datang, hukum rimba berjalan alami, yang paling kuat yang menjadi pemimpin. Dan tak ada seorang pun yang keberatan. Sebaliknya, mereka barangkali malah keberatan kalau disuruh memimpin, lha wong honornya nggak ada, tapi kalau ada apa-apa didamprat duluan.

“Tak ada yang bisa kita lakukan sekarang…” kata Pak Samvel dengan bahasa Rusia yang terbata-bata. “Alat-alat mungkin sudah bisa dipakai sebagian, tapi alur kerja masih terganggu, karena makin banyak orang yang tak datang. Apa yang akan kita sampaikan kalau Pak Kustov datang nanti?”

“Apa kita bisa terus bekerja sementara teman-teman kita meregang kesakitan?” tanya seseorang, nampaknya orang Georgia.

“Ya. Harusnya pabrik mengurusi nasib pekerjanya dulu, sebelum memikirkan soal produksi!” kata Soso, ia tak tahan untuk diam saja.

Semua mata menatap padanya, seorang anak, pemuda tanggung, tapi sudah berani bicara seperti itu. Tapi, semua setuju dengan omongannya, dan seolah menunggu apa yang akan dia katakan lagi.

Seolah mendapatkan izin untuk bicara, Soso melanjutkannya, “Mereka yang sakit, bukan karena penyakitnya sendiri. Sumber penyakitnya ada di sini, di pabrik ini, lepas dari banjir yang tiba-tiba masuk. Mungkin juga karena makanan atau minumannya juga ikut tercemar. Ini musibah. Harusnya pabrik peduli pada pekerjanya, bukan memaksa pekerja lain untuk terus bekerja menuruti target mereka!” kata Soso.

“Tapi kita juga akan mati kalau tidak bekerja. Mencari pekerjaan sekarang bukan persoalan mudah…” kata seorang lelaki beraksen Georgia. Setahu Soso dia tukang sol.

“Terus apa yang mau bidza[4] kerjakan sekarang? Sepatu mana yang mau dipasang sol-nya, kalau penjahit juga tidak menyelesaikan bagiannya?” tanya Soso dengan sopan.

“Maksudmu kita harus libur lagi sekarang? Lha kemarin saja kita bersih-bersih upah nggak dihitung, ini malah mau nambah libur. Bisa bisa minggu ini kita nggak terima upah sama sekali…” kata seseorang lagi.

“Bisa nggak kita lupakan dulu soal upah?” tanya Soso. “Saya tahu itu penting buat paman-paman semua karena punya anak dan istri. Tidak seperti saya yang masih bocah. Tapi bagaimana kalau yang tidak bekerja itu, yang sakit karena kejadian di pabrik ini adalah paman sendiri? Terus paman tidak masuk kerja, tak dapat upah, dan seterusnya… lalu tiba-tiba pas sudah sembuh, mau balik lagi, posisi paman sudah digantikan oleh pekerja lain?”

“Terus apa yang harus kita lakukan?” tanya orang Georgia yang tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun