Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (7) Buruh Pabrik Sepatu

3 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:40 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka Soso pun ‘menaklukkan’ mereka dengan dongeng dan bualan. Saat istirahat, diceritakanlah pada mereka kisah ‘Ksatria Berkulit Macan’ dari puisi epos Vepkhistqaosani karya Shota Rustaveli yang disukai dan dihafalnya pas sekolah di Gori dulu. Tentu saja, Soso tak membacakan puisinya, tapi merubahnya jadi dongeng dengan tambahan di sana-sini berdasarkan imajinasinya sendiri. Bahkan, sosok Teriel –si Ksatria berkulit macan, salah satu tokoh utama dalam kisah itu—dialegorikan sebagai dirinya. “Meski badannya tidak terlalu besar, punya cacat di kakinya, tapi Teriel adalah sosok yang pemberani…” kisahnya.

“Masak ksatria badannya kecil dan cacat sih?” protes Vati.

“Kau tau Napoleon Bonaparte?” tanya Soso sambil mendelik pada Vati.

Vati menggeleng, “Tapi pernah dengar namanya…”

“Itu kaisar Perancis. Dari rakyat jelata. Badannya juga kecil!” kata Soso sok yakin, padahal ia juga tak tahu persis kisahnya itu. Ia juga belum pernah mendengar atau membaca kisahnya langsung.

“Udah, dengerin aja… penonton nggak usah banyak protes…” kata Ogur.

Soso pun melanjutkan dongengnya.

Selain kisah yang diceritakannya itu memang panjang, Soso sengaja memanjang-manjangkannya dan dibuat bersambung. Tujuannya adalah supaya anak-anak itu mau terus mendengarnya. Apalagi, waktu istirahat untuk makan siang mereka juga memang tidak panjang. Karena itu, hari-hari berikutnya, setiap jam istirahat, mereka berkumpul untuk mendengarkan kelanjutan dongeng Soso sambil menikmati makan siangnya. Tak jarang, Soso mendapat imbalan potongan roti tambahan dari teman-temannya itu. Belum lagi, meski upah mereka sama, dua kopek sehari, pekerjaan Soso jadi sedikit berkurang karena banyak diambil alih pasukannya itu. Misalnya saja, kalau disuruh Pak Hago mengangkat gulungan kulit, harusnya mengangkat tiga gulung sekali angkut, segulung lagi diambil alih oleh Ogur yang merengek minta dibantu Soso belajar baca-tulis Rusia. Maklum, Soso membual pada mereka kalau kisah-kisah bagus seperti itu banyak ditulis dalam buku berbahasa dan berhuruf Rusia, dan ia mengaku pandai membaca huruf Rusia; padahal ia sendiri baru akan belajar hari Senin nanti!

Mungkin iya Soso menikmati keuntungan-keuntungan dari teman-teman barunya dengan akal-akalannya itu. Tapi sebetulnya, hal itu tak lebih dari pelampiasan atau pelariannya. Atau juga pengalihan saja. Ia tahu, setidaknya, sampai mungkin setahun ke depan, ia akan bekerja di situ sambil menunggu kesempatan untuk masuk sekolah –jika Mak Keke bisa mencarikan biaya untuk menutupi kekurangannya. Ia tahu, dunia kerja, di pabrik seperti itu, bukan cita-citanya –meski ia juga nggak tahu apa cita-citanya, dan menjadi pendeta juga tidak masuk dalam cita-citanya itu. Ia bertekad untuk sekolah, meski itu sekolah untuk calon pendeta sekalipun. Urusan jadi pendeta atau tidaknya, itu urusan nanti.

Yang jelas, dia nggak mau menjadi buruh selamanya. Mungkin memang ada jenjang karir di situ, seperti Pak Sese yang naik jabatan hingga menjadi mandor, dan hidupnya lumayan. Bisa juga mundur dan usaha sendiri seperti yang dilakukan bapaknya –meski setelah usaha sendiri malah bubar nggak jelas. Tapi Soso merasa, itu bukan dunianya. Sama dengan dunia keagamaan. Ia belajar di sekolah gereja, –kalo jadi— akan masuk sekolah calon pendeta. Tapi ia tidak merasa itu juga dunianya. Ia tahu Tuhan… ia belajar menjadi umat Tuhan, belajar tentang perintah dan larangannya. Tapi.. ia nggak merasa tertarik dekat dengan Tuhan. Kalaupun ia rajin ke sekolah, itu karena di sekolah banyak buku, buku yang memberinya wawasan bahwa dunia itu tak selebar daun kelor, tak hanya sejauh Gori-Tiflis. Masih banyak hal dari dunia yang ingin diketahuinya. Dan sejauh ini, bukulah yang mengantarnya menjelajah dunia itu….

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun