Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Guru atau Tersingkir?

30 September 2017   12:10 Diperbarui: 30 September 2017   12:30 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teknologi informasi dan komunikasi saat ini berkembang sangat pesat, mengalir deras seperti air bah yang tak dapat dibendung. Hampir seluruh bagian bumi ini sudah dapat dijangkau dengan mudah, dan antara satu dengan yang lain sudah saling terkoneksi. Suatu kejadian yang terjadi di suatu negara akan sangat cepat menyebar ke berbagai negara lain di belahan bumi ini, bahkan bisa disaksikan secara langsung. Misalnya saja perjuangan Timnas Indonesia saat tampil di Myanmar, di detik yang sama, juga sudah dapat disaksikan penonton di Indonesia.

Kemajuan ini tidak terlepas dari inovasi teknologi yang semakin canggih. Dulu kita saling berkirim surat lewat Kantor Pos, itupun beberapa minggu baru sampai. Sekarang sudah ada BBM, WA, Line, Telegram, dan lain-lain, yang pesannya akan sampai ke orang yang kita tuju begitu kita selesai mengetik dan terkirim. Dulu kita juga mengenal telepon rumah, sekarang berkembang lagi dengan adanya HP yang bisa dibawa kemana-mana. HP sendiri, dari waktu ke waktu selalu berubah.

Kalau menceritakan tentang kemajuan teknologi ini, tentu tak akan ada habisnya. Itu karena hampir semua sisi kehidupan kita sudah dipengaruhi teknologi ini, bahkan kita justru ketergantungan dengan teknologi tersebut.

Sekarang ke judul tulisan, "Menjadi Guru atau Tersingkir?" Opsi judul hanya ada dua, menjadi guru, atau tersingkir. Tentu semua memilih opsi pertama. Tidak ada satu orang guru pun yang memilih opsi kedua. Hanya saja, pada kenyataannya, saya mendapati sangat banyak guru yang hampir "tersingkir".

Kenapa "tersingkir"? Guru yang seperti ini memiliki pengetahuan sangat terbatas, dan bahkan banyak dari mereka yang memperoleh pengetahuan lama yang sudah out of date. Mereka pun jarang meng-update ilmu dan meng-upgrade otak mereka terhadap kemajuan teknologi. Mereka ini, ada yang masih merasa puas dengan kemampuan pengalaman dan pengetahuan mereka, ada juga yang merasa nyaman dengan keadaan mereka sekarang, ada juga yang tidak sanggup mengikuti perkembangan kemajuan zaman. Lebih hebat lagi, banyak dari guru-guru yang belum menguasai komputer (kok dikatakan hebat sih, memprihatinkan dong!). 

Padahal, zaman sekarang, guru tidak bisa komputer hampir sama dengan malapetaka. Semua kegiatan hampir melibatkan komputer. Walhasil, agar mereka bertahan, mereka selalu meminta bantuan teman, atau mencari jasa pengetikan, walau untuk sekadar nge-print.  Pembuatan RPP, silabus, daftar nilai, daftar hadir, jurnal KBM, leger, administrasi umum guru, pemberitahuan, dan lain sebagainya, semua dilakukan dengan komputer. Menggunakan internet, hanya untuk memposting gambar dan menulis status dan chatting membalas komentar-komentar di medsos. 

Datang ke sekolah, membawa buku ke kelas, memberi materi, dan keluar begitu habis jam pelajaran di kelas. Duduk di ruang guru, sambal minum, buka HP, nulis status, komen, lalu ngobrol ngalur-ngidul, dan mulai mengantuk. Tak ada yang dikerjakan. Begitu setiap hari. Sementara membuat google drive, mendownload, mengirim email, atau mengedit naskah, mereka tidak pernah melakukannya, karena tidak bisa. (Miris sekali, tapi itulah kenyataan).

Guru-guru seperti inilah yang saya katakan "tersingkir". Lambat laun, mereka akan tersisih. Menyedihkan. Padahal mereka ini rata-rata sudah menerima sertifikasi. Hanya saja, rasanya mereka belum pantas mendapatkannya. (wah, ngajak berantem nih!).

Itulah kenyataan. Masih banyak guru yang seperti itu. Sebagus apapun cara mengajar di depan kelas, tapi kalau tidak diimbangi dengan penguasaan teknologi, maka guru tersebut akan menjadi guru yang dianggap siswa berpandangan kuno dan ketinggalan zaman. Cara mendidik yang ketinggalan zaman akan membuat siswa bosan dan kurang bersemangat dalam belajar.

Tulisan ini semoga bisa mengetuk hati para guru yang masih gagap teknologi, memberi inspirasi, menggugah kesadaran akan pentingnya menguasai teknologi. Saya bukan ahli teknologi, bukan paling bisa, tapi hanya ikut prihatin dengan keadaan ini. Bukankah, menjadi guru yang profesional, menjadi dambaan semua guru? Maka, mari bersama mewujudkannya! Atau, mau tersingkir?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun