Mohon tunggu...
Brilliant Dwi I
Brilliant Dwi I Mohon Tunggu... Freelancer - Memuat Opini yang

Mahasiswa Pendidikan UIN Jakarta | Acap membuat komik di Instagram @sampahmasyarakart | Sedang Belajar Menulis | #SalamAlinea

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejak Kapan Kritik Harus Membangun?

15 Juli 2020   13:01 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:13 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan iseng ini hadir waktu saya sedang khusyuk jadi jamaah Youtube. Kalau gak sedang tidur, ngopi, atau pegang buku, saya biasa menghabiskan waktu di depan gawai untuk main game atau sekadar menonton video menarik. Sesederhana itu hiburan saya.

Entah ini perlu diceritakan atau tidak. Tapi, video terakhir yang saya tonton---video bu Irma S. Chaniago berdebat dengan Rocky Gerung di ILC---betulan bikin saya mikir. Kita semua tau. Setiap kali kita klik video Rocky Gerung, maka isinya sudah bisa ditebak. 20% isinya gagasan, sisanya debat-debat gak perlu.

Di video itu, Bu Irma yang kekeuh menolak argumen Rocky mendidih darahnya.

"Anda ini mengkritik dan bilang Pak Jokowi dungu, memangnya anda lebih pintar dari Pak Jokowi?" Tegas Bu Irma.

Dahi saya mengernyit lalu dengan sembrono nyeletuk, "Lha, memangnya sejak kapan kalau mau mengkritik kita harus lebih pintar dari yang dikritik?".

Omongan Bu Irma bagi saya jelas adalah omong kosong.

Membedakan kritik dengan hinaan adalah persoalan kedewasaan. Boleh setuju, boleh juga tidak. Tapi, ini penting karena kritik adalah mekanisme utama melawan status quo. Hadirnya kritik justru bagus untuk memastikan bahwa oposisi tetap berlaku dan melakukan fungsi kritisnya.

Jadi, sebetulnya gak ada soal bagaimana menyakitkannya kritik yang disampaikan. Karena pada hakikatnya, kritik  ya harus dilihat pada fungsinya sebagai sebuah gagasan saja. Bukan masalah personal dan bukan pula persoalan orang tersebut suka atau tidak suka.

Kritik Gak Pandang Bulu

Bersyukurlah kepada Allah, juga pada demokrasi. Karena kalau bukan karena dua itu, kita tidak bisa bebas berpendapat. Di mata demokrasi sudah jelas bahwa suara Professor sederajat dengan suara petani. Suara saya, sederajat dengan suara anda. Tapi, kenapa kritik dibatasi oleh kelas-kelas palsu tadi? Kenapa masih ada anggapan bahwa kalau mau mengkritik maka kita harus lebih baik dari yang dikritik? Kenapa masih ada salah nalar bahwa kalau mau mengkritik kita juga harus lebih suci dari yang dikritik?

Logika itu tidak boleh dibenarkan. Demokrasi menjamin suara kita. Semua bebas mengkritik. Tidak perduli lebih miskin, lebih jelek, atau lebih bodoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun