Malam ini, Ruslan dan Agus mendapat tawaran untuk mampir ke warung kopi milik sahabatnya, Panji. Mereka bertiga sudah bersahabat lumayan lama. Terhitung sejak menjadi mahasiswa semester dua sampai sekarang masing-masing dari mereka sudah punya anak dan berkepala tiga. Ruslan berasal dari fakultas pendidikan, sementara itu, Agus dan Panji dari fakultas ilmu sosial dan politik.
Awal perjumpaan mereka juga adalah kebetulan dan sebuah peristiwa tidak sengaja. Ruslan dan Agus pada awalnya adalah mahasiswa yang ngekos di sebuah tempat yang ternyata milik Panji. Dari situlah kemudian mereka akrab.
Hari ini, mereka berkumpul kembali setelah sekian lama tidak mengobrol dan bercerita. Kali ini, masih sama-sama di tempat yang juga milik Panji.
Jam setengah delapan malam Agus dan Ruslan berjanji untuk hadir. Sebelum mereka datang, Panji sudah dengan anteng menunggu sahabatnya di sebuah bangku yang bentuknya melingkar. Ia tampil rapi. Rambutnya bahkan lebih wangi dari kembang yang baru mekar.
Tak lama berselang, dari kejauhan kemudian terdengar suara yang khas. Suara knalpot motor yang ia pernah dengar 10 tahun lalu di kampus. Suara motor tua Agus. Begitulah ia dikenal. Mulut knalpotnya jauh lebih berisik dan terkenal dari mulut yang punya.
"Nji! Assalamualaikum!" Sahut Agus dan Ruslan. Mereka ternyata sengaja datang berbarengan. Hitung-hitung nostalgia dengan motor tua, katanya.
 "Waalaikumussalam! Kemari Gus, Lan." Sambut Panji girang sambil memesankan sahabatnya kopi terbaik dari kedai miliknya. Ia kemudian berdiri, bersalaman, mempersilahkan sahabat-sahabatnya duduk dan melakukan kegiatan khas reuni pada umumnya: Bertanya kabar.
"Jadi gimana pak guru Ruslan, apa kabarnya? Bagaimana keluarga di rumah? Apa tidak masalah aku mengajakmu keluar malam-malam begini. Seorang guru besok harus mengajar, lho." Tanya Panji agak meledek.
"Alhamdulillah, Nji sehat. Kamu ini dari dulu tetap sama ternyata. Hobinya meledek. Lagi pula mana bisa aku menolak tawaran berkumpul seperti ini. Apalagi sampai di traktir sama yang punya tempat!" Jawab Ruslan. Agus yang mendengar mereka bercengkrama juga cekikikan.
"Nih, kopi terbaik dari warung ini!" Sambut Panji.
"Ah, ini dia. Kopi manapun sebenarnya sama saja untukku, Nji. Yang membuat dia jadi terbaik adalah kalau harganya gratis!" Jawab Agus tertawa.