Mohon tunggu...
Brilliant Dwi I
Brilliant Dwi I Mohon Tunggu... Freelancer - Memuat Opini yang

Mahasiswa Pendidikan UIN Jakarta | Acap membuat komik di Instagram @sampahmasyarakart | Sedang Belajar Menulis | #SalamAlinea

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalo Bukan Gara-gara Corona, Bisa Jadi Kita Lupa Jadi Manusia

7 Maret 2020   15:00 Diperbarui: 7 Maret 2020   15:52 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya gak tau apa cuman saya yang merasa bahwa masyarakat kita sangat reaktif. Pak Jokowi beberapa hari lalu mengumumkan bahwa di Depok, ada 2 orang yang positif mengidap virus COVID-19 atau yang mungkin beberapa dari kita kenal dengan sebutan Corona. 

Sejujurnya, deep inside saya juga panik. Saya juga gak munafik. Soalnya kalau dipikir-pikir, tempat saya tinggal cukup dekat dengan Depok. Ya meskipun tidak sedekat jari telunjuk dengan jempol.

Setidaknya kalau dikira-kira, waktu tempuh yang dibutuhkan abang-abang ojek online untuk membeli, sampai mengantarkan kopi susu kekinian ke rumah, tidak lebih cepat dari perjalanan rumah saya menuju Depok.

Indonesia yang kaya dengan konten kreator beruntungnya mampu untuk menerjemahkan segala yang berbau virus Corona yang ngejlimet itu, menjadi sesuatu yang lebih bisa dikonsumsi publik tanpa harus repot-repot nyari sana-sini. Udah gitu, pemerintah kita yang juga keliatan nyantai-nyantai aja, ternyata sudah mulai ambil langkah. Terutama soal masker.

Saya termasuk salah satu dari sekian juta warga negara +62 yang dibikin repot waktu masker ludes diborong. Padahal WHO sudah bilang, bahwa yang seharusnya menggunakan masker cukup mereka yang sakit saja. Yang sehat, tidak dianjurkan. 

WHO bahkan bilang daripada pakai masker, lebih baik sering-sering cuci tangan. Jangan lupa pakai sabun. Karena justru, virus ini menyebarnya lewat cairan. Dalam hal ini, kita dan beberapa pejabat publik akhirnya punya kesamaan. Sama-sama demen 'cuci tangan'.

Ngoehehehehehe! Masuk pak Eko!

Masyarakat kita yang belum teredukasi ini sialnya malah jadi doyan menghabiskan stok masker di toko-toko. Akibatnya, harga masker yang tadinya cuma 20 ribu per pack, sekarang bisa jadi naik seribu kali lipat karena jumlah barang tidak memenuhi jumlah keinginan.

Dari 20 ribu, jadi 20 juta. Harga yang gak masuk akal. Ketidaktahuan atau kebodoamatan mengenai virus ini justru tidak hanya bikin geger bidang kesehatan, tapi ekonomi juga.

Bayangkan ada mahasiswa jurusan kimia yang kegiatan sehari-harinya harus menggunakan masker karena acap bertemu dengan zat berbahaya saat praktikum. Di saat yang bersamaan, bayangin lagi wajah mahasiswa-mahasiswa itu begitu tau harga masker sekarang 20 juta. Raut wajahnya yang ambyar, dompetnya yang menangis, udah sewa kos belum dibayar pula. 

Sedih, dibikin semakin menyedihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun