Mohon tunggu...
Brilliant Dwi I
Brilliant Dwi I Mohon Tunggu... Freelancer - Memuat Opini yang

Mahasiswa Pendidikan UIN Jakarta | Acap membuat komik di Instagram @sampahmasyarakart | Sedang Belajar Menulis | #SalamAlinea

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Emangnya Kenapa Jadi Minoritas Kreatif?

31 Januari 2020   10:35 Diperbarui: 31 Januari 2020   19:13 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari salah satu komik digital penulis, @sampahmasyarakart

Saya agaknya gak percaya kalau ada orang yang secara terang-terang mendeklarasikan diri sebagai orang yang tidak pernah merasakan star syndrome. Terutama, di zaman simsalabim seperti sekarang. Zaman yang memberikan kesempatan kepada siapa saja, bahkan kepada mereka yang resek sekalipun supaya bisa jadi seleb dan terkenal padahal tunakarya.

Baiknya, kesempatan ini  memang mampu mengorbit personality. Tapi, lebih jauh daripada itu, ini artinya ia juga mampu mengorbit orang dengan bakat yang sebelumnya tidak pernah diketahui khalayak. Makanya, jangan heran kalau sekarang kita bisa menemukan banyak sekali penulis, sampai seniman digital yang ramainya melebihi bubaran pabrik.

Algoritma dari tiap platform digital terutama social media sebagai salah satu portofolio mereka juga berubah dengan sangat cepat. Lebih cepat dari gosip ibu-ibu di tukang sayur mungkin. Mereka mau tak mau juga harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan penulis, atau seniman digital yang mencari peruntungan dari sumber yang sama. 

Mereka bukan cuma harus pintar-pintar 'memilih kolam', tapi juga harus memastikan bahwa di kolam yang ia pilih, ia adalah salah satu yang istimewa. Alih-alih sibuk berkarya dan mencari konten, ada pula mereka yang terbawa arus dengan mencuri karya dan mengikuti tren.

Itu yang mungkin menyebabkan kenapa tiba-tiba banyak seleb youtube dengan banyak subscriber, padahal kontennya gak mutu dan cuman itu itu aja. Itu juga yang mungkin menyebabkan mereka yang dulu najis-najisin orang main tik tok, eh sekarang malah ikutan main. Wong, sedang trennya main dan joget-joget di tiktok. Iyo tah ora son?

Ditengah-tengah pekerjaan itu, sebagian dari mereka ada yang tersesat dalam ketidakjelasan. Individu yang tidak merdeka karena karyanya harus menyesuaikan kemauan followers instagramnya. Pekerja kreatif yang insting kreatifnya justru mati.

Cih, kalo gitu mah kapan terkenalnya, mas! Keburu jan etes nyalon jadi walikota!

Well, kita sebenarnya juga gak boleh naif kalau memang melihat dan mengikuti tren itu perlu, tapi jangan sampai terbawa arus deras dan enggak tau muaranya entah kemana. Berkarya adalah persoalan jujur dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk berkarya adalah bukti bahwa sebagai manusia, kita punya hasrat yang kemudian perlu untuk dilampiaskan. 

Daripada jadi penulis atau seniman musiman, Saya justru merasa lebih bangga kalau karya atau tulisan yang saya buat adalah hasil dari keresahan, sekalipun jumlah engagementnya bisa jadi tidak semeledak mereka yang buatannya musiman sesuai tren. Emangnya kenapa kalau jadi minoritas kreatif?

Bukankah lebih baik jadi singa walaupun sendirian daripada jadi domba sekalipun gerombolan?

Akhir kata,

Salam Alinea.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun