Saya bukan orang yang faham betul tentang ini. Tapi saya resah melihat saudara sesama Muslim yang mempertanyakan, "Islam Nusantara itu agama baru, Nabinya siapa, shalatnya menghadap ke mana?" dan lain sebagainya. Lebih meresahkan lagi, karena ternyata pertanyaan semacam itu juga dilontarkan oleh teman-teman para pegiat literasi.
Menurut saya itu bukan lagi sikap kritis yang dilandasi semangat ukhuwah demi kebaikan bersama sebagai sesama Muslim. Bukan juga pertanyaan yang dilandasi semangat untuk tabayun atau klarifikasi. Tapi sudah bernuansa permusuhan yang mengancam perpecahan dan terputusnya silaturahim.
Untuk itu kita, terutama para penggerak literasi tak akan membiarkan diri larut oleh orkestrasi perpecahan yang entah dibunyikan oleh siapa dan dari mana. Namun kita justru tertantang untuk lebih mendalami banyak literatur tentang Islam, termasuk tentang wacana Islam Nusantara. Bagi sebagian pihak, mungkin ini terasa aneh sehingga langsung berujar, "Islam ya Islam dan gak boleh ada embel-embel nama bangsa tertentu"
Inilah tantangan kita, khususnya para penggerak literasi untuk membuktikan diri sebagai seorang literat. Ya. Hanya itu dan bukan agar kita menyetujui jika kita benar-benar tak sepaham. Namun setidaknya, ketidak sepahaman kita itu telah dilandasi oleh banyak litaratur yang kita baca dari berbagai sumber yang otoritatif.
Ada salah satu literatur tentang Islam Nusantara yang layak untuk dibaca karena ditulis oleh seorang Kyai yang mengajar di Ma'had Aly Pesantren Salafiyah Assyafi'iyah Situbondo Jawa Timur sbg guru utama Fiqih dan Ushul Fiqh. Dalam tulisannya dia menjelaskan bahwa makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu'amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari'at, dan 'urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Tak ada kebencian dalam Islam Nusantara terhadap warna-warni Islam pada bangsa-bangsa lain, terutama Arab sebagai negeri tempat diturunkannya Islam.
SALAM LITERASI