Dalam suasana tahun politik saat ini, mulai dari pelaksanaan Pilkada dan bersambung dengan Pilpres di tahun depan, ternyata agama masih dianggap sebagai instrumen paling penting dalam wacana politik. Sebenarnya ini tidak sepenuhnya keliru tetapi juga sekaligus tak bisa diklaim sebagai kebenaran.
Agama sebagai sistem nilai, tak mungkin dipisahkan dari berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal berpolitik. Apalagi politik dalam pengertian generiknya adalah cara bertindak dalam menghadapi dan menangani masalah, pengetahuan tentang ketatanegaraan, segala urusan tentang pemerintahan Negara (baik dalam negeri maupun terhadap Negara lain), dan kebijaksanaan.Â
Maka nilai-nilai agama tak mungkin bertentangan dengan politik karena keduanya sama-sama bertujuan untuk menata hidup manusia agar tidak berbenturan satu sama lain.
Imam Ghazali dalam bukunya "Nashihatul-muluk" (Nasihat untuk para raja) menyatakan bahwa agama (Islam) tak dapat dipisahkan dengan polirtik (Muhbib Abdul Wahab, Sindonews.com, 3 April 2017).Â
Keterkaitan keduanya ibarat dua saudara kembar. Politik yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan harus dikawal agama. Sedangkan agama perlu diterapkan sisi kebumiannya dan menyatu dengan politik agar tidak semata-mata berorientasi kekuasaan tetapi demi kesejahteraan hidup manusia di bumi..
Agama memang berasal dari "langit" tetapi Tuhan menurunkannya ke bumi untuk kebaikan hidup manusia. Sedangkan politik merupakan kreatifitas manusia akan nilai-nilai agama dalam wujudnya yang lebih operasional demi mengelola hidupnya di bumi.
Tentu saja yang dimaksud agama di sini adalah sunnatullah (orang-orang sekuler menyebutnya "hukum alam") yang melekat dalam diri individu. Yakni energi yang mendorong seseorang untuk memenuhi berbagai kebutuhannya.Â
Apa kebutuhan manusia? Setidaknya seperti yang diidentifikasi Abraham Maslow yang meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta-kasih, kepemilikan, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Dalam perspektif itulah kita tergoda menyaksikan realitas praksis politik saat ini. Pihak-pihak yang berbeda pandangan politik yang direpresentasikan dalam pilihan partai politik yang berbeda-beda, telah terbelah hingga menimbulkan perseteruan yang kekanak-kanakan dan memalukan.Â
Bagaimana tidak, sebab mereka telah saling klaim sebagai pihak yang paling benar dan pihak lain paling salah, saling menyesatkan, saling mengkafirkan, saling memunafikkan, saling tuduh sebagai penghianat, menebar fitnah secara terang-terangan dan bertubi-tubi. Sementara mereka juga saling menganjurkan pihak lain untuk segera sadar, bertobat, menyadari ketersesatannya dan lain sebagainya.
Dalam suasana komunikasi model seperti itu, tak berlaku lagi diskusi meskipun dengan argumentasi serasional apapun. Pokoknya mereka yang tak sealiran pasti sesat dan harus disikat.Â