Mohon tunggu...
Alim El Choy
Alim El Choy Mohon Tunggu... -

Tak semua yang ku tulis itu aku, tak semua yang kau baca itu kau

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Nahwu

3 April 2013   21:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:46 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

{UNTUK MEREKA YANG MENERTAWAKAN NAHWU}

Miris, sampai detik ini masih saja ditemukan manusia-manusia angkuh yang mendaku cerdas bahasa. Mereka ini cuma cerdas, tetapi sayang sama sekali tak bijak. Dengan congkaknya, mereka menertawakan teori nahwu klasik. Katanya kuno, sudah usang dan ketinggalan jaman. Maka, kata mereka; “percuma saja kau belajar jurumiyah, imrithi atau Al-fiyah! Sia-sia, tak ada guna! Tidakkah kau tau bahwa bahasa itu berkembang!”

Memang benar, bahwa bahasa itu berkembang, bahkan tak jarang teori-teori nahwu klasik tak lagi sesuai dengan realitas bahasa kontemporer. Namun, bukan berarti belajar teori dasar nahwu klasik tak ada faidah. Nahwu klasik itu ibarat batu pijak, tanpa itu mustahil seorang bisa merangkak naik. Maka, pesan saya: jangan sekali-kali kau tertawakan Imam Sibawaih, al-Kisa’iy, Khalil, atau imam Ibnu Malik. Jangan kau hina nahwu klasik kami! Jika kalian masih percaya kualat, maka silahkan bercermin pada kisah Imam Ibnu Malik. Diceritakan bahwa karena petikan syair “Faiqatan alfiyata ibni Mu’thi” (Alfiyah ini lebih unggul dari Alfiyah yang dikarang Ibnu Mu’thi) ini, Imam ibn Malik kehilangan daya inspirasi-kreatifnya. Hingga suatu ketika, sang imam bertemu gurunya yang tak lain adalah Ibnu Mu’thi. Semenjak itu, imam Ibnu Malik sadar dan berintrospeksi atas kelancangan kata-katanya itu. Pada akhirnya ia pun bisa melanjutkan 1000 baitnya, tak lupa ia memuji sang guru, Ibnu Mu’thi “wa huwa bisabqin haa’izun tafdlila” (Ibnu Mu’thi berhak mendapat keutamaan sebab ia lebih dulu pada zamannya).

Mereka yang suka melecehkan nahwu klasik dan mendewakan teori bahasa kontemporer ini biasanya baru berkenalan dengan tokoh-tokoh linguistik kontemporer  macam Ibnu Madla’ dengan karya kontroversialnya   ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi,Tanzih al-Qur’an amma la Yaliqu bi al-Bayandanal-Masyriq fi al-manthiq, Ibrahim Musthafa dengan bukunya “Ihyâ’ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) atau Syauqi Dhaif dengan Taisiru al-Nahwi al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi.

Jika dicermati sebenarnya upaya rekonstruksi yang dilakukan oleh mereka ini tak lebih dari sebuah penyederhanaan dari teori nahwu klasik yang katanya dikenal ‘mbulet’ dan susah dipaham. Maka, supaya mudah dipahami oleh siapa saja dibuatlah teori praktis yang tak bertele-tele. Ambil saja salah satu teori milik Ibnu Madla’ yang sama sekali tak setuju dengan konsep ‘amil. Baginya, yang merafa’kan atau menashabkan sebuah kalimat bukanlah amil lafdzi atau ma’nawiy, melainkan si mutakallim itu sendiri. Hemat saya, ini teori kelewat praktis. Saking praktisnya, sampai tak mau susah-susah mencari amil. Jalan pintas pun diambil, ya sudah anggap saja penyebab utamanya adalah si mutakallim.

Karena itu,tak berlebihan jika saya katakan bahwa orang-orang yang anti nahwu klasik ini adalah orang-orang yang ndak mau repot, ndak mau mikir jero. Jika begitu, maka sejatinya teori nahwu klasik seng jarene mbulet, njlimet tur angel dipaham itu setingkat di atas teori bahasa kontemporer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun