Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Machiavelisme: Menghalalkan Segala Cara di Pilkada DKI Jakarta

9 April 2017   08:14 Diperbarui: 9 April 2017   16:00 4511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perhelatan pesta demokrasi pilkada putaran kedua tinggal menghitung hari. Tepatnya tanggal 19 April 2017 pesta demokrasi akan digelar sebagai penentu pemenang dan siapa yang berkuasa di daerah yang mengikuti pemilihan kepala daerah secara serentak. Sekalipun pemilihan dilakukan serentak, satu daerah yang banyak menjadi sorotan mata yaitu pemilihan gubernur DKI Jakarta. Semua mata memandang dalam setiap proses politik yang ada di Jakarta. Hal ini karena dua alasan. Pertama; jakarta dikenal sebagai kota metropolis number one di Indonesia, sehingga persoalan jakarta dianggap sebagai miniatur persoalan bangsa Indonesia. Persoalan pendidikan, kesehatan, tata kelola lingkungan, tata kelola pemerintahan dan lain sebagainya. Disisi lain problem sosial-masyarakat yang sangat komplek dari berbagai kalangan, mulai kalangan manusia yang hidup dipinggiran kali sampai tengah kota, dari orang yang tinggal digubuk sampai orang gedongan, orang yang tidur di emperan sampai orang yang tidur di hotel bintang lima. Berbagai problem yang sangat komplek ini menjadi standart berbagai problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itulah persoalan yang ada di Jakarta tidak bisa lepas dari sorot mata masyarakat Indonesia. Kedua;  diorama perpolitikan jakarta adalah muniatur peta kekuatan politik bangsa indonesia, lebih-lebih menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan digelar dua tahun lagi. Semua partai politik mengukur kekuatan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Hal ini dilakukan menjadi langkah awal untuk mengatur posisi kekuatan partai politiknya di tahun 2019. Semua partai politik mengerahkan mesin politiknya secara maksimal dan adu strategi politik untuk memenuhi hasrat kuasanya. Berangkat dari dua alasan ini, posisi gubernur DKI Jakarta menjadi rebutan para politisi yang bernaung di partai politik. Dalam meraih kemenangan, segala cara ditempuhnya, tidak jarang menghalalkan segala cara, baik cara yang baik dan cara yang burukpun dilakukan, seperti adu program untuk memajukan masyarakat Jakarta, dan juga tidak kalah sengit isu SARA menjadi tontonan masyarakat Indonesia, Jakarta khususnya.

Masih segar dalam ingatan kita diorama perpolitikan bernuansa SARA menjadi gurita yang selalu dipertontonkan. Hal inilah yang ditengarai sebagai salah satu tindakan menghalalkan segala cara, tanpa berpikir terhadap efek negatif yang sangat mengerikan yang dapat ditimbulkan oleh isu SARA. Perilaku politik "menghalalkan segala cara", bahkan agama dijadikan sebagai alat politik mengingatkan kita pada salah satu tokoh politik yang tersohot di abad moder yaitu Niccolo Machiavelli. Dia adalah ilmuwan pertama yang membaca fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber etis atau hukum, pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan scientifik murni yang lepas dari berbagai jejaring etis. Persoalan politik adalah persoalan meraih dan mempertahankan keluasaan tanpa adanya intervensi apapun termasuk nilai etis agama. Banyaknya soal politik yang selalu dikaitkan dengan agama semata-mata hanya untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Pada taraf ini, machiavelli melihat hubungan agama dan politik melalui dusut pragmatisme dan kepentingan politik praktis kekuasaan. Agama akan memiliki makna bergantung pada sejauh mana agama tersebut berguna untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Keberadaan dan diperlukannya sebuah agama bukan karena kandungan luhur yang ada di dalamnya, tetapi sebagai alat membentuk sikap patuh masyarakat terhadap pemimpin atau kekuasaan. Pemikiran Machiavelli ini terkesan sangat merendahkan posisi agama, namun dalam praktek politik Indonesia, berbagai fakta berserakan yang pendukung kebenaran pemikiran ini sangat mudah untuk ditemukan. 

Berbagai fakta agama yang menjadi kemasan alat politik menemukan momentumnya di pemilihan gubernur DKI Jakarta mulai dari proses pra pemungutan suara pertama sampai menjelang pemungutan suara kedua. Politik untuk kepentingan agama atau agama untuk kepentingan politik menciptakan polarisasi tajam antar pendukung kontestan pasangan calon gubernur yang bertarung. Realitas ini tidak hanya terjadi pada putatan pertama yang telah diselenggarakan, tetapi menjelang putaran kedua semakin menguat. Putaran final pemilihan gubernur DKI Jakarta ini menyisakan dua pasangan calon yaitu ahok-djarot vs anis-sandi.

Menjelang pemilihan final putaran kedua, agama sebagai alat intrumen praksis politik untuk merengkuh dan mempertahankan kekuasaan (tutur Machiavelli) semakin menguat. Fakta politik Machiavellianisme tersebar di pemilihan gubernur DKI Jakarta antara lain kasus penistaan agama, seruan tidak memilih calon non muslim, tidak menshalatkan jenazah pendukung non muslim, renovasi makam mbah priuk dan mengumrahkan para penjaga masjid. 

Pertama: kasus penistaan agama yang sampek sekarang belum selesai di meja hijau. Munculnya isu SARA bermula dari rekaman pidato ahok yang ditengarai menistakan agama Islam. Pencaplokkan surat al-Maidah 51 dalam pidato ahok menjadi pemicu gerakan masyarakat untuk menuntut ditahannya "penista agama". Akhirnya kasus ini bergulir ke meja hijau. Pada proses persidangan inilah, ditengarai muncul lagi persoalan yang diduga kriminalisasi ulama. Isu penistaan agama menjadi isu seksi yang memicu berbagai gelombang demontrasi yang dilakukan oleh kaum sebagian muslim. Demonstrasi berjilid jilid dilakukan yang ditengarai untuk menjegal salah satu pasangan calon gubernur yaitu ahok djarot. Realitas ini menggiring opini bahwa pesaingnya yang menggerakkan berbagai gerakan demontrasi yang berkumpul di masjid istiqlal. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya anis dan beberapa tim suksesnya di masjid istiqlal disaat demontrasi digelar. Entah siapa yang menggerakkan berbagai demonstrasi yang dibungkus dengan narasi agama ini, yang jelas gerakan ini telah menjadi komoditas politik untuk meraih kekuasaan. Disisi lain gerakan ini dapat ditunggangi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. 

Kedua: adanya himbauan kepada masyarakat muslim untuk tidak memilih calon non muslim. Himbauaan ini adalah buntut dari berbagai aksi demonstrasi. Himbauan ini lagi-lagi harus dilegitimasi melalui dogma agama. Pada taraf ini, dogma agama hanya dijadikan intrumen untuk melakukan legitimasi politiknya. Dengan dalih dogma agama, semua masyarakat dipaksa untuk memilih satu pasangan calon tertentu. Hal ini bagi penulis merupakan perilaku yang dapat meghilangkan elan vital agama. Disisi lain, agama diperintah berdasarkan hasrat kepentingan kekuasaan semata, sehingga agama harus tunduk pada kemauaan sebagian manusia yang merasa paling agamis di muka bumi ini. 

Ketiga: lebih miris lagi adalah himbauan untuk tidak mensolatkan jenazah para pendukung calon non muslim. Lagi-lagi dogma agama diperalat untuk mengatakan bahwa yang mendukung calon non muslim tidak berhak untuk disholati. Padahal, hukum mensholatkan jenazah yang beragama islam adalah fardu kifayah, dan apabila terdapat jenazah beragama islam yang tidak disholati, maka semua muslim di penduduk negeri ini akan berdosa semuanya. Pada taraf ini, himbauan ini merupakan perilaku ingkar kepada dogma agama. 

Keempat: tidak kalah sengit, renovasi makam mbah priuk juga bisa menjadi komoditas politik yang diperdagangkan dalam kontestasi perebutan kekuasaan politik praksis. Melalui petuah "gaib" seakan-akan memiliki kedekatan dengan makam mbah priuk. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa baru kali ini padahal makam itu sudah ada semenjak dulu. Kenapa baru kali ini setelah memasuki kontestasi politik, kenapa tidak dari dulu melakukan renovasi perbaikan pada makam keramat itu. Entah apa yang menjadi hasrat dibalik semua itu, yang jelas semua persoalan yang menyangkut makam mbah priuk memiliki selubung hasrat kekuasaan. 

Kelima: mengumrahkan para marbot masjid. Perilaku ini sangat baik jika dilakukan degan tulus dan ikhlas. Namun berbeda ketika semua yang dilakukannya memiliki muatan politik untuk mengangkat derajatnya di mata masyarat. Disiai lain ingin menahbiskan dirinya sebagai manusia yang mengabdi kepada masyarakat tanpa pandang latar belakang agamanya. Hal ini menjadi luar biasa, jika dilakukan jauh dari hiruk pikuk politik apalagi pada masa pencalonan dirinya untuk memenangkan suatu jabatan. 

Berpijak dari kelima isu SARA yang merebak dalam kontestasi politik perebutan kekuasaan gubernur antara pasangan calon ahok-djarot dan anis-sandi, maka dapat dikatakan bahwa isu SARA merupakan implementasi perilaku politik ala Machiavelli. Politik yang menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Gerakan SARA yang merebak di kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta memiliki dua alasan, selain agitasi propaganda politik pasangan calon. Pertama: isu SARA untuk mencitrakan kharisma yang baik, budi pekerti yang luhur dan moralitas yang terpuji bagi pasangan calon yang mengeluarkannya, baik itu dilakukan oleh pasangan calon ahok-djarot atau anis-sandi. Kedua: ingin mencitrakan pasangan calon yang peduli terhadap masyarakat sehingga masyarakat dapat hidup makmur dan sejahtera di ibu kota dengab kepemimpinannya di DKI Jakarta. 

Sebagian kalangan melihat bahwa praktek isu SARA ini tidak membawa dampak apapun dalam mengoptimalkan dan menaikkan suara pemilihnya. Karena masyarakat sudah dianggap masyarakat cerdas dan imun terhadap berbagai isu SARA. Oleh karena itu, isu SARA dianggap sebagai isu sampah di setiap perhelatan pesta demokrasu di bangsa Indonesia ini. Mungkin ini benar bagi sebagian kalangan yang sudah cerdas membaca persoalan politik, tetapi masih banyak masyarakat yang tidak paham dan tidak melek politik di bangsa ini. Sehingga perilaku partisipasi politik tidak dilandasi oleh kecerdasan dan melek informasi, tapi kebanyakan masyarakat indonesia berpatisipasi dalam pemilihan kepala daerah karena keterpaksaan dan dipaksa. Keterpaksaan berpartisipasi untuk menunjukkan sikap tanggung jawab dan nasionalismenya sebagai warga Indonesia. Dan dipaksa oleh "uang" dan dogna agama. Masyarakat yang terbiasa dipaksa oleh "uang" memiliki anggapan bahwa politik adalah uang dan suara politik bergantung dari besaran uang yang diterimanya. Pada taraf inilah persoalan politik praksis, pemilihan kepala daerah dan pesta demokrasi disebut dengan partisipasi politik trasaksional. Slogan yang sering kita dengar di masyarakat adalah "yang menang adalah yang bayar lebih banyak". Slogan ini tidak asal muncul, tetapi memiliki modes operandi sejarah yang selalu dipraktekkan para politisi di setiap pesta demokrasi dengan transaksi uang. Semakin sering dan lama, politik transaksional di bangsa Indonesia ini seakan menjadi budaya yang jauh dari sikap pilihan cerdas, rasional dan moralitas politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun