Mohon tunggu...
Nasrul Alif
Nasrul Alif Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuntut Keadilan Pemira UIN Jakarta

20 Maret 2019   18:53 Diperbarui: 20 Maret 2019   19:04 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEMIRA atau Pemilihan Umum Raya UIN Jakarta melahirkan wajah baru demokrasi kita ke depannya. Mungkin salah satu blue print pemilihan ke depan kita nantinya akan seperti yang ada di UIN Jakarta ini. Sebagian orang mungkin akan menolak opini ini dan itu hal yang wajar. kita bisa melihat abstraksi dari Pemira UIN Jakarta yang berlangsung pada tanggal 19 Maret 2019. 

Memang pada dasarnya adalah bagaimana proses pemira ini berjalan tidak pada jalan yang sebagaimana mestinya. Kejanggalan-kejanggalan dari awal wacana pemira ini sampai selesainya pemira ini menimbulkan banyak sekali perdebatan. Dari kisruh penetapan ketua KPU pemira sampai penetapan sistem e-voting yang tidak melalui uji coba terlebih dahulu. 

Pelbagai peristiwa yang terjadi selama proses kampanye Pemira sampai penghitungan suara,  kami dipertontonkan drama yang sama sekali tidak menghibur. Belum lagi ditambah dengan komentar prof. Mahfud MD terkait dengan pemilihan rektor sejumlah perguruan tinggi Islam. Dari situlah semakin menyeruak isu-isu yang menjadi teori konspirasi pemilihan umum raya UIN Jakarta.

Akan tetapi, kita lupa bahwasannya teori tidak hanya sekedar menjadi teori jika banyak orang yang membicarakannya apalagi mempercayainya. Bagaimana bisa tidak percaya dengan statement orang yang bisa dipercaya, That's logic. Kita juga jangan meremehkan kemampuan media sosial berbasis digital yang bahkan sempat masuk dalam jajaran trending topik.

Kita sebagai seorang mahasiswa yang terkenal dalam bidang akademisnya tentu saja bisa membaca pola-pola yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Serentetan peristiwa yang telah terjadi sebelum pemilihan ketua KPU UIN Jakarta hingga penghitungan suara dalam format e-voting telah membentuk pandangan kita terhadap jaring laba-laba yang kini menjerat UIN Jakarta.

Lalu bagaiamana kita menyingkapi persoalan yang telah terjadi? Tentu sebagai mahasiswa yang mana kita terlibat dalam proses pemilihan umum raya ini, kita harus usut tuntas sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai kita hanya membahas mengenai potong ranting tapi langsung dicabut dari akar-akarnya.

Mungkin sebagian orang akan mengeluarkan statement nyinyir yang tidak menghargai suara temannya sendiri dikarenakan kekuasaan depan mata yang telah didapatnya. Begitulah bila indepedensi dan idealisme mahasiswa telah direbut oleh yang namanya penguasa. Mahasiswa yang dulu katanya identik dengan kata "merdeka" telah dikebiri oleh orang-orang tua yang duduk berleha-leha menghitung rekening pribadinya. Begitulah jadinya.

Idealisme adalah harta terakhir yang dimiliki oleh pemuda, kata Tan Malaka, telah digantikan oleh anggukan bisu yang menjadikan lidah kita kelu. Bahkan oleh sesama pemuda saja saling menyerang dengan mendukung pihak yang sedang berkuasa dan bahkan mengambil suara hak pilih pemira. Mereka bilangnya,"sudahlah belajar saja, jangan demo. Belajar itu amanah orang tua". Demo kita bisa dimana saja. Di kelas dengan dosen. Di status WA, IG dan medsos lainnya bisa kita jadikan tempat belajar, tidak hanya di kelas yang tertutup dinding palsu itu.

Bahkan ada yang bilang, "kalah rebut, menang arogan, udahlah pindah kampus saja kalian". Masak kata-kata seperti itu bisa keluar dari pikiran pemuda apalagi mahasiswa. Berikanlah ruang publik ini argumentative yang solutif, agar kita tidak menciderai peradaban demokrasi yang sudah dibangun oleh orang-orang sebelum kita. Segala tingkat kecurangan dalam pemilihan seharusnya kita tidak hanya bisa tinggal diam.

Gejolak darah muda yang kata bang rhoma gejolak darahnya selalu berapi-api tidak bisa kita sepelekan. Lupakah kita dulu apabila setelah Indonesia merdeka, para pemuda di tiap bertemu selalu mengucapkan "MERDEKA!!!" karena euphoria kemerdekaan Indoensia. Dan di sinilah kita sampai pada hakekat kita yang selalu bungkam dengan penguasa.

Kita boleh bosan membicarakan persoalan politik. Kita boleh muak membicarakan persoalan PEMIRA. Akan tetapi ingatlah wahai pemuda yang di genggaman tangannya ada masa depan bangsa ini, kita tidak boleh bosan apalagi muak apabila membicarakan persoalan keadilan!!!! Tuhan memang Maha Adil, tapi bagaimana dengan orang-orang yang mencoba menjadikan dirinya sebagai Tuhan sehingga mereka mempunyai pemahaman akan keadilan versi mereka, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Hanya ada satu kata "LAWAN"!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun