Sering “Tercegat” Upacara Agama
Tak lama saya menemukan pasar, ketika saya tanyakan namanya pasar Rubaye. Letaknya di Kecamatan Tianyar. Awalnya saya mencari pisang. Tapi tak ada pisang dapat menerbitkan selera. Akhirnya, membeli sate. Ketika ditanyakan, katanya sate ikan. Tusukan sate-satenya besar. Lagi-lagi, lidah saya mendapatkan rasa pedas. Saya memakannya dengan nasi yang telah tersimpan selama semalam. Saya makan di emperan toko.
Dalam perjalanan ini, banyak menemukan upacara agama. Terkadang jalan tersendat. Bahkan sempat ada iring-iringan upacara agama yang cukup riuh. Puluhan orang mengusung seperti gunungan atau pura. Ada dua orang pendite yang yang naik di atasnya. Ketika diusung di atas pundak atau kepala tingginya melebihi tiang listrik. Sehingga beberapa kali nyaris mengenai kabel listrik dan lampu penerangan jalan. Namun ada tali yang dipasang hampir dipuncak gunungan. Dipegang dua orang untuk mengendalikan arahnya.
Agak lama upacara agama yang dilakukan di jalan itu. Sehingga membuat macet panjang kendaraan. Ketika melanjutkan perjalanan, saya berpikir: kali ini mungkin saya absen shalat Jum’at. Tapi tanpa saya sadari, sudah sampai Buleleng dan menemukan masjid yang cukup besar.
Segera saya berhenti dan mendorong ke halaman masjid. Gerbang masjid baru di buka. Saya minta ijin pada petugas untuk memasukan sepeda ke halaman masjid, karena terpampang peraturan “Semua kendaraan dilarang Parkir di Halaman”.
“O, silahkan-silahkan, dari mana?” tanyanya, ketika saya sebutkan dari Bandung Jawa Barat (selalu saya ucapkan dengan lengkap, karena di Bali ada daerah “Badung”), saya dipersilahkan untuk mandi.
Kembali ke Gilimanuk
Gowesan demi gowesan saya lakukan. Setelah makan terlebih dulu di warung tak jauh dari masjid. Jalanan menyusuri pantai. Sempat mampir di Pure Sidhi Ponjok Batu, yang berada di pinggir pantai. Ada upacara agama di sana. Terdengar puji-pujian dan gamelan Bali.
Setelah mengambil beberapa pose, saya kembali melanjutkan perjalanan. Tanpa saya sadari, saya menemukan gerbang yang menunjukan: “35 Kilometer ke Gilimanuk”. Tepat jam pk. 17.00 (artinya, jam 6 waktu Bali). Weis, ternyata sudah dekat. Padahal awalnya, saya ragu bisa menyelesaikan etape ini sehari.
Saya tambah bersemangat. Namun ketika menemukan pure atau candi kera, saya ragu untuk berhenti. Bukan tak tertarik. Namun melihat kera-kera yang cukup besar, saya mengurungkan untuk sejenak mengambil foto disini.