Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Aturan Belok Kiri (Tak Boleh) Jalan Terus

26 Januari 2017   11:33 Diperbarui: 26 Januari 2017   13:11 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: griagowes.com

Ini persolaan sepele. Begitu sumirnya, sehingga jarang ada yang open (bahasa Sunda, artinya, perhatian), bahwa peraturan baru dalam UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ada pasal 112 ayat (3) mengatur, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri. Bunyi pasal tersebut “Pada persimpangan jalan yang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau pemberi isyarat lalu lintas”.

Terbitnya UU no. 22 tahun 2009 ini, telah diundangkan sejak 1 April tahun 2010. Artinya, masyarakat pengguna jalan, siapapun harus mengetahuinya tanpa kecuali. Sehingga apabila ada pelanggaran, harus ada ditindak. Tidak dapat berdalih, bahwa tak mengetahui adanya aturan tersebut. Meski kenyataannya, sosialisasi terhadap pasal ini minim sekali dan setengah hati. Selain itu, masyarakat kita sulit untuk mengubah kebiasaan. Terlebih, setiap undang-undang sangat mudah diunduh melalui gadget.

Sementara untuk mengingatkan adanya aturan pasal 112 (3) nyaris tak ada. Bahkan di beberapa perempatan, masih ada terpasang: belok kiri jalan terus. Sungguh ironis! Padahal dalam setiap pembuatan dan pengubahan UU yang dilakukan para wakil rakyat, memerlukan biaya tak sedikit.

Tidak berlakunya aturan ini, menyebabkan pengendara bermotor yang malas menunggu bergantinya lampu merah berubah hijau, sering kali terus melaju, kemudian memotong ke bagian jalan lain di depannya. Biasanya dilakukan apabila tak ada pembatas jalan di depannya. 

Sebagai contoh di Kota Bandung, di depan Samsat Jl. Soekarno-Hatta dan Jl. Gatot Subroto, terutama dilakukan pengendara dari arah Jl. Pejuang 45 yang akan melaju ke Jl. Laswi. Begitu begitu pula sebaliknya. Padahal perilaku ini, sangat membahayakan bagi pengguna jalan lainnya. Seperti peringatan yang dipasang instansi terkait, bahwa kecelakaan berawal dari pelanggaran aturan.

Salah satu penyebab seringnya pelanggaran ini terjadi, karena banyaknya rekayasa jalan yang searah di kota Bandung, juga kota-kota besar lainnya. Jadi, belok kiri langsung dianggapnya bukanlah pelanggaran. Selain itu, perilaku minimnya disiplin pengendara kendaraan bermotor.

Barangkali hanya sedikit pengendara yang mengetahui adanya aturan pada pasal 112 (3). Padahal maksud pasal ini, sungguh mulia. Yaitu, melindungi pejalan kaki ketika hendak melintas di lokasi stopan (lampu merah). Demikian pula pesepeda, berkepentingan dengan pasal ini. Betapa tidak? Sebagai pengendara sepeda, beberapa kali saya disalip dari kiri ketika melintas setelah lampu merah. Kendaraan yang berbelok tak mengurangi kecepatannya dan tak memahami ada larangan belok kiri langsung.

Pengalaman saat singgah bersepeda di Kota Denpasar, Bali, aturan ini diterapkan. Begitu pula di kota Palopo, Sulawesi Selatan, yang reletif lebih sepi dari Kota Bandung. Peringatan belok kiri haru mengikuti rambu di depan, terpasang dengan jelas.

Seturut dengan Kota Bandung sebagai kota metropolitan, terlihat paradoks dengan rencana Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung, yang memberikan ruang lebih luas pada pejalan kaki dan pesepeda.

Lihat saja, saat ini pembangunan trotoar tak lagi asal ada seperti yang dilakukan walikota sebelumnya. Pemilihan bahan yang kuat seperti batu granit, juga dilengkapi pernak-pernik lainnya, sperti kursi dan menempatkan batu-batu bundar agar ruang pedestarian ini, tidak diserobot pengendara kendaraan bermotor dijadikan tempat parkir.

Bahkan di ruas Jl. Ir. Juanda (Dago), pelebaran trotoar dengan “mengorbankan” taman. Sehingga banyak mengundang kritikan dari warga. Namun pilihan ini, mungkin yang terbaik. Mengingat taman di sepadan trotoar seringkali rusak. Terlebih apabila musim kemarau akan terlihat gersang, karena pelaku usaha sepanjang jalan itu, kurang peduli terhadap keberadaanya. Sementara Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung, selalu keteteran apabila memelihara saat kemarau tiba. Bagaimana pun, pemeliharaan taman besar pendanaanya. Begitu juga di Jl. Jend. Sudirman ada bagian trotoar yang diperluas.

Namun, apabila tidak diiringi dengan sarana keamanan dengan penerapan pasal tadi, para pejalan kaki tak akan leluasa menikmati sarana yang disediakan. Meski disisi lain, pembuatan desain zebra cross yang dibuat lebih kreatif, diantaranya mirip permainan “ular tangga” belum cukup untuk memberikan rasa aman pada pejalan kaki melewatinya. Terlebih pada bagian persimpangan jalan, masih terasa sulit untuk menyeberang tanpa rasa khawatir.

Pemberian apresiasi dan penghargaan patut diberikan pada komunitas yang mengedukasi untuk tertib berlalulintas. Seperti memberikan peringatan agar pengendara motor berhenti di belakang garis zebra cross mana kala lampu stopan berwarna merah. Bagaimanapun ketertiban berlalulintas tak hanya dibebankan pada petugas kepolisian, namun juga  masyarakat harus memiliki andil. Sesumir apapun peraturan undang-undang lalul intas dibuat untuk keselamatan bersama. Dan, tertib lalu lintas merupakan cermin beradabnya suatu masyarakat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun