Mohon tunggu...
Alicia Yolanda Bawuna
Alicia Yolanda Bawuna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta

suka kopi, suka foto, suka dolan suka apalagi ya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosial Media Bisa Jadi Toxic? Stop Percaya Postingan di Sosial Media!

29 Maret 2021   12:16 Diperbarui: 29 Maret 2021   12:54 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu Culture Jamming ?

Sebelum membahas tentang bagaimana kita melihat Sosial Media menggunakan kacamata Culture Jamming, Sebenarnya Culture Jamming mungkin masih terdengar asing di telinga kita. 

Culture Jamming adalah sebuah bentuk dari postmodernisme tentang politik representasi. Postmodernisme adalah ide-ide dari budaya, bahasa, estetika, model, simbol, dan kebebasan berekspresi yang diikuti dengan sebuah makna (Retnawati, 2016). 

Postmodernisme merupakan gerakan abad akhir ke-20 yang melanjutkan era modernisme. Postmodernisme lebih bersifat ilusi dan fiksional. Postmodernisme memperhatikan proses  produksi dan konsumsi dari partisipasi manusia. 

Postmodernisme melihat manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan berpikir secara kognitif, komunikatif dengan bahasa dan pemikiran rasional. Dapat kita lihat dari pemahaman tersebut postmoderninsme memandang dunia secara sosial dan bersifat menduga – duga (asumsi).

Apa sih kaitannya Culture Jamming dan Postmodernisme ?

Culture Jamming adalah salah satu bentuk dari postmodernisme. Culture Jamming adalah karya – karya yang berusaha menyampaikan pesan – pesan terntentu dengan tujuan menyadarkan masyarakat mengenai konsumsi, kerusakan lingkungan, atau praktik sosial yang terjadi. 

Jammers (pelaku culture jamming) ingin meningkatkan kekhawatiran masyarakat akan hal tersebut dengan cara yang artistik, yaitu mengubah pesan menjadi makna pesan (Barker & Jane, 2016, hl. 241).

Contoh Culture Jamming pada saat ini

Saat ini sosial media bahkan menjadi kehidupan kedua kita, seperti Instagram, TikTok, Twitter, Whastapp, dll. Saya pun juga merasa begitu karena saya termasuk pengguna aktif Instagram dan Whatsapp. 

Seringkali saya menjumpai banyak postingan – postingan indah nan mewah, orang – orang kerap membalut kebahagiaan mereka dengan hal – hal yang tampak indah untuk dipamerkan di sosial media. Padahal kita tidak akan pernah tahu apakah keindahan itu hanya di sosial media atau mungkin di kehidupan nyata juga. 

Setiap melihat postingan seseorang entah snapstory, foto atau bahkan video yang dibagikan terkadang terlintas pertanyaan di benak kita “Masa sih ada orang yang hidupnya bahagia terus? Kok postingannya terlihat selalu baik – baik saja.” Dari hal – hal tersebut saja sudah menunjukkan bahwa sosial media saat ini menjadi ajang pamer dan menimbulkan rasa iri, sedih, bertanya – tanya ketika melihat kehidupan seseorang yang kita tidak tahu bagaimana realitanya.

Memang benar jika siapapun bebas berekspresi dengan sosial medianya. Namun ada beberapa hal yang harus kita ketahui, untuk kita yang selalu merasa menginginkan kehidupan orang lain hanya karena postingan sosial medianya. 

Pertama, kita melihat orang – orang yang tampak romantis dari postingan sosial medianya. Padahal kita tidak akan pernah tahu bagaimana keadaan hubungan orang – orang itu. Contohnya, ketika kasus selebgram Rachel Vennya bercerai banyak sekali netizen yang berkomentar “Perasaan postingannya adem ayem dan selalu mesra, kok bisa cerai?”, dari situ pun sebenarnya kita dapat menyimpulkan bahwa jangan menjadikan sosial media sebagai acuan kebahagiaan seseorang karena kita tidak akan pernah tahu apa yang orang lain alami dan apa yang mereka rasakan. 

Kedua, seringkali kita melihat orang – orang membagikan moment mereka yang super mewah, instagramable atau menarik untuk kita lihat. Padahal kita tidak pernah tahu apakah kehidupan nyata mereka seindah postingan itu. Berdasarkan pengalaman pribadi, kerap kali saya menjumpai orang – orang yang ketika mereka ingin mempercantik tampilan sosial media mereka, mereka harus melakukan proses editing atau malah memaksakan diri untuk tampil sempurna di sosial media.

Hal – hal tersebut menghambat kita untuk menjadi diri kita sendiri. Jangan sampai sosial media membuat kita menjadi iri dan ingin menjadi orang lain. Biarlah sosial media digunakan semana mestinya, yaitu menjalin komunikasi dengan baik dan membuka relasi dengan banyak orang tanpa menjadi toxic di dalam kehidupan kita. Karena sosial media seharusnya bukan menjadi ajang persaingan, pamer atau malah menjadi toxic dalam kehidupan kita. Kita sebagai manusia akan terus berevolusi, wajar jika kita terus mengikuti perkembangan zaman. Namun mengikuti perkembangan zaman bukan berarti kita memaksa diri kita tampak sempurna dan ingin menjadi orang lain di dalam dunia maya.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, C. & Jane, E. A. (2016). Cultural studies: Theory and practice. (5th ed). London: SAGE Publications.

Retnawati, B. B. (2016). Perubahan pandangan modernism dan postmodernism dalam konsep konsumsi dan konsumen. Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun