Mohon tunggu...
Annisa Alifadhila
Annisa Alifadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Let's be unpredictable.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Berkelana dalam Wacana

24 Desember 2018   14:47 Diperbarui: 24 Desember 2018   19:06 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Orang yang rajin membaca bagaikan sedang melihat masa lalu dan masa depan. Hadir di setiap sejarah dan hadir di setiap imajinasi orang-orang hebat." 

***

Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman saya bercerita bahwa ia sedang membaca sebuah novel dengan judul yang sama seperti namanya, Aisyah. Novel karya Sibel Eraslan tersebut menceritakan tentang kisah hidup istri ketiga Nabi Muhammad saw. dari awal kehidupannya hingga beliau wafat. Rangkaian peristiwa yang ada di buku itu membuat teman saya merasa baper dengan kehidupan tokoh yang ada.

Mendengar ceritanya, berbagai pertanyaan pun timbul di benak saya. Mengapa seseorang bisa merasa seakan-akan ditarik ke dalam cerita yang sedang ia baca? Mengapa seseorang bisa merasakan hal yang sama dengan cerita yang disajikan saat sedang membaca suatu kisah di buku atau suatu artikel? 

Mengapa tulisan yang dibaca seseorang bisa membuat ia bertingkah atau berkeinginan untuk memiliki hidup seperti para tokoh di cerita tersebut? Bahkan saya yakin, ketika Anda membaca tulisan ini, pikiran Anda seolah-olah digiring untuk setuju dengan apa yang terjadi dengan teman saya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

***

Jati Diri Seseorang Mulai Pudar ketika Menghayati Sebuah Cerita

Saat seseorang menghayati tulisan yang ia baca, besar kemungkinan bahwa orang itu akan terpengaruh dengan bacaan tersebut. Hal ini sejalan dengan ungkapan Hayakawa (dalam Kaufman dan Libby: 2012, 1) yang menyatakan bahwa sastra memiliki kemampuan untuk memberikan perubahan besar pada setiap individu dengan mengantarkan mereka pada pengalaman dari berbagai perjalanan hidup dan karakter yang hampir tidak ada batasnya. 

Lewat berbagai kisah dan karakter itu, para pembaca akan secara tidak sadar membentuk kepribadian baru untuk menyesuaikan diri dengan kisah atau tokoh yang ia baca. Itulah mengapa seseorang cenderung bertingkah atau berkeinginan untuk memiliki hidup seperti para tokoh di cerita yang telah dibaca. Hal tersebut pula yang terjadi pada teman saya, sehingga ia berkata bahwa ia ingin merasakan hidup seperti tokoh Aisyah di buku itu.

Pendalaman Unsur Intrinsik akan Merefleksikan Kepribadian Seseorang

Masih dari studi yang sama, Kaufman dan Libby mengemukakan fakta bahwa sastra memungkinkan seseorang untuk memegang (dalam artian meyakinkan diri atau menemukan) cita-cita atau ide-ide yang ingin dicapai. Mereka juga menemukan sebuah istilah yang disebut dengan "experience-taking", yaitu sebuah proses imajinatif atau pengasumsian langsung bahwa cara berpikir, emosi, kebiasaan, mimpi, dan sifat dari karakter yang ada pada sebuah narasi seolah-olah dimiliki oleh seseorang. 

Sehingga, saat pembaca mendalami unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, bahkan sampai gaya bahasa penulis) dari cerita yang ia baca, tak jarang hal itu malah mengantarkan pembaca tersebut kepada hal-hal yang ternyata mencerminkan diri maupun lingkungannya. Hal itulah yang menyebabkan seseorang merasa seolah-olah ditarik ke dalam cerita yang tengah ia baca. Sama halnya dengan yang terjadi pada teman saya, ketika ia mulai menghayati detail dari setiap cerita, ia merasa seperti diajak memahami suasana yang terjadi dalam kehidupan tokoh Aisyah.

Tidak Selalu Berhasil Mempengaruhi Para Penikmatnya

Meskipun sastra (terutama yang berbentuk karangan) terbukti dapat mempengaruhi emosi dan kepribadian seseorang, tidak selamanya pengaruh itu dapat benar-benar terjadi. Darmadi (1996, 24) mengatakan bahwa karangan yang baik memiliki beberapa ciri: signifikan, jelas, terorganisir dengan baik, mempunyai pengembangan yang memadai, komunikatif, dan mempunyai kekuatan. 

Ketika suatu karangan tidak memenuhi salah satu ciri yang telah disebutkan, besar kemungkinan bahwa pesan yang ingin disampaikan pengarang tidak dapat menyentuh para pembacanya. Oleh karena itu, wajar jika seseorang telah membaca suatu tulisan namun tetap tidak mendapatkan kesan apapun dari dari apa yang ia baca.

***

Melihat fakta bahwa sastra dapat mempengaruhi emosi dan kepribadian seseorang, maka sudah sepatutnya kita lebih bijaksana dalam memilih apa yang akan kita baca. Seperti kutipan dari Helvy Tiana Rosa, "Sastra bisa menampung semua gejolak dalam diri, mengurangi derita serta membuatmu lebih peka serta berdaya."

Dengan sastra, seseorang bisa melewati segala macam batasan.

Dengan sastra, seseorang bisa membangun dunia yang mereka inginkan.

*Oleh: Annisa Alifadhila (Mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun