Mohon tunggu...
Ali Arief
Ali Arief Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Saya berasal dari Kota Medan...berkarya dan berkreativitas dibutuhkan kemauan dan keyakinan untuk tetap konsisten di jalur kejujuran dan kebenaran...tetap belajar memperbaiki diri...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuncup Melati di Saat Senja

2 September 2021   20:47 Diperbarui: 2 September 2021   20:52 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak perubahan sikap Wildan, sepertinya aku tak mampu lagi untuk mempertahankan mahligai rumah tangga ini. Hampir dua puluh tahun aku berumah tangga, dan di usia ke-42 tahun ini harus merasakan kekecewaan yang mencabik-cabik perasaanku. Laki-laki yang seharusnya menjadi imam bagiku dan ketiga putriku, telah menghancurkan impianku untuk hidup bersama hingga akhir hayat nanti. 

Kabar berita yang ku dengar dari mulut ke mulut, ternyata benar adanya. Aku merasa tak sanggup menerima derita batin ini jika orang yang sangat ku sayang, melakukan penghianatan di belakangku.

"Ibu mengapa menangis, apa yang sedang terjadi pada ibu? ", tanya putri pertama ku. 

"Ah, ibu tidak apa-apa kok sayang. Ibu hanya letih seharian tadi berada di sekolah membersihkan ruangan laboratorium dengan beberapa siswa." Aku berusaha untuk menyembunyikan permasalahan rumah tangga di hadapan putriku. 

"Ya sudah, ibu harus segera beristirahat, nanti pekerjaan rumah Wanda yang akan menyelesaikannya. Sekarang ibu tidak boleh bersedih lagi." Aku mencium kening putriku sambil memeluk tubuhnya. Aku ingin menjerit, meluapkan kekesalan kepada laki-laki yang telah menitipkan ketiga buah hati yang kini telah mulai tumbuh dewasa.

Tepat pukul 23:30 wib, aku menunggu kehadiran seorang laki-laki di ruangan tamu yang hampir beberapa hari ini pulang larut malam. Ya, laki-laki yang ku tunggu adalah Wildan suamiku. Aku mendengar berita yang sangat meresahkan hatiku. Berita yang telah sampai ke telingaku, jika Wildan sering bertemu dengan perempuan lain. 

Aku berusaha menahan segala emosi yang tersimpan di dada ini. Dari tirai jendela, aku melihat suamiku dengan sedikit sempoyongan mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu dan mencoba merangkul tubuh yang dari mulutnya tercium bau alkohol.

"Kamu minum lagi ya Bang, sampai kapan kamu harus terus begini? Ingat Bang, kita sudah memiliki tiga orang putri yang sudah mulai beranjak remaja dan dewasa. Apakah dirimu sedikitpun tidak ada rasa malu kepada mereka? Mereka tentunya yang akan malu jika ayahnya pulang larut malam dengan kondisi mabuk seperti ini?" Ucapku kepada Wildan, suamiku. 

"Aku mau tidur, kepalaku pusing dan jangan terlalu banyak memberikan komentar apapun kepadaku. Sudah, aku mau tidur." Balas Wildan kepadaku. Aku tetap membawa Wildan ke dalam kamar tidur, meskipun linangan air mata menetes dari pelupuk mata ini.

Matahari pagi mulai menampakkan sinarnya, aku bersiap-siap untuk melaksanakan tugas negara, yaitu bertugas sebagai seorang guru. Sebelum berangkat tugas, aku menyiapkan sarapan pagi untuk ketiga putri dan suamiku. 

Setelah sarapan pagi, ketiga putriku berangkat ke sekolah dengan diantar suamiku, Wildan. Aku melihat ketiga putriku bercengkerama di saat bersama ayahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun