Penantianku seakan sia-sia. Lima jam lamanya menunggu di ujung persimpangan kota ini. Yah, sejak pagi hingga menjelang siang hari tadi, tidak terlihat sama sekali Anton menemuiku. Anton berjanji akan datang tepat waktu. Apa yang terjadi pada Anton? Aku pun segera menghubungi nomor telepon Anton berulang-ulang, namun tidak ada jawaban sama sekali.Â
Semakin sulit Anton ku hubungi, semakin jelas ada sesuatu yang mungkin terjadi pada dirinya. Aku baru teringat, Anton pernah mengungkapkan masalah yang dihadapinya dua hari yang lalu padaku. Ia sempat berdiri tepat di sudut rumah tua di ujung kota itu.Â
Aku segera meninggalkan persimpangan itu, setelah beberapa jam penantianku Anton tidak muncul juga. Aku seperti pungguk merindukan bulan, jika Aku tidak berjumpa dengan Anton hari ini. Aku memutuskan untuk menuju ke rumah Anton.
Sesampainya Aku di depan rumah Anton, betapa terkejutnya diriku. Beberapa orang tetangga yang bersebelahan dengan rumah Anton, sedang mempersiapkan sesuatu. Sesuatu yang mengarah pada persiapan untuk pemakaman. Aku segera masuk menuju rumah Anton.
Terlihat olehku, tubuh berbalut kain putih yang telah dikafani. Tidak salah, tubuh kaku itu Anton sahabat karibku. Tidak kuasa diriku melihat tubuh kaku itu. Air mataku menetes. Anton, terlalu cepat dirimu pergi.
Perasaan duka yang aku rasakan, sepertinya sulit untuk menghilangkan bayang- bayang Anton. Sudah seminggu Aku merenung berdiam diri, sejak kepergian Anton kembali ke hadirat Sang Pemilik Kehidupan. Aku masih teringat saat Anton mengeluhkan sakit yang dideritanya.
Anton merahasiakan penyakit yang pernah dideritanya padaku. Aku melihat wajah Anton yang selalu terlihat pucat. Wajah yang  tidak memiliki gairah hidup. Gairah hidup yang telah hilang karena kenangan di rumah tua. Ya, Anton sering berdiri di rumah tua di ujung persimpangan.
Rumah tua itu yang menjadi saksi bisu kenangan indah sekaligus menyedihkan bagi Anton. Di rumah tua itu, Anton bersama kedua orangtuanya hidup bahagia. Kebahagiaan itu terusik ketika musibah yang dialami ayah dan ibunya. Rumah yang dijadikan tempat untuk bercengkerama terbakar dan menewaskan kedua orangtua Anton. Sejak kejadian itu, Anton sepertinya sangat terguncang. Ia tidak seceria dahulu.
Akulah, teman satu-satunya yang selalu memberikan semangat kepada Anton untuk tetap bersabar menjalani kehidupan. Anton sangat rapuh jiwanya. Ia selalu menatap dengan tatapan kosong ke arah rumah tua itu. Anton tak lagi menyapaku. Anton tak lagi menebarkan senyum untukku. Anton tetap sahabat terbaikku.
Kini, Anton telah bertemu dengan ayah dan ibunya. Anton menemukan kembali kebahagiaan yang telah hilang dari hidupnya. Anton tidak kesepian dan hidup sendiri lagi. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya sudah hilang. Kenangan bersama Anton di rumah tua itu, di ujung persimpangan kota.
(Ali Kusas)