"Kita nggak bisa kayak dulu lagi Bel, maaf."
Bella mengatupkan bibirnya. "Aku tidak akan menyerah Roy. Kita ditakdirkan bersama. Aku tahu itu." Lalu dia pergi meninggalkanku.
Biasanya aku akan mengejar dan merayunya sambil meminta maaf. Entah kenapa perasaanku ke Bella tak lagi seperti dulu. Apa karena Hanum? Aku seperti berharap kepada bayangan ke wanita di pojok kafe itu. Aku sama sekali tidak tahu siapa dirinya. Nama lengkapnya, pekerjaanya, dan dia adalah istri orang.
Aku benar-benar tak habis pikir, kenapa wanita itu bisa memberikan semangat baru untukku. Hanya dengan memandangnya aku merasa bahagia. Dia membuatku nyaman.
Aku mematung ketika melihat Hanum berjalan ke arahku. Aku membeku. Dia menatapku sambil berjalan. Semakin lama semakin dekat. Apakah dia tahu perasaanku? Aku melihatnya tersenyum. Aku membalasnya. Aku bersiap akan berdiri menyambut nya ketika aku melihat headphone di kupingnya.
 Huff dia sedang menelepon seseorang. Dia berbelok lalu memesan raisin oatmeal scones dan secangkir latte panas.
Aku berdiri menghampiri nya. Jantung ku berdetak kencang. Aku berdiri di samping nya. Wangi parfumnya membuatku nyaman. Dia terlihat begitu mungil berdiri di sampingku. Dengan tinggi badanku 180 senti, aku memang terlihat besar. Sedangkan dia hanya sedikit melewati bahuku. Mungkin tingginya hanya 160 senti.
"Mbak nanti tolong antar ke meja saya di sana ya," suara nya terdengar tegas, dan menekan. Khas tampilan seorang wanita mandiri, tanpa basa basi.
Setelah membayar dengan debit, dia kembali ke mejanya tanpa sedikitpun melihatku.
Ririn tersenyum melihat ku seperti orang tolol. Wajahnya antara kasian dan prihatin.
Aku memandang Hanum dari kejauhan. Apakah besok kau datang lagi?