Mohon tunggu...
Abdurachman Ali
Abdurachman Ali Mohon Tunggu... Insinyur - Hidup dengan penuh syukur

Writer-Traveller-Engineer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskusi Nanggung

5 Oktober 2020   08:10 Diperbarui: 5 Oktober 2020   08:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari saya memposting buku karangan seseorang yang dianggap kontroversial oleh sebagian orang -- mungkin kurang tepat juga jika disebut sebagian, karena memberikan kesan jumlahnya banyak, padahal tidak begitu, namun agar tidak terdengar tendensius, kata tersebutlah yang saya gunakan-- 

Dalam tempo tidak terlalu lama, seorang sahabat langsung memberikan komentar yang isinya kurang lebih mempertanyakan "keberanian" saya mengumumkan, dengan cara memposting di media sosial, bahwa saya adalah salah satu pembaca buku karangan penulis tersebut, apakah tidak takut mendapat stigma atau bahkan teguran?

Saya coba memberikan sedikit penjelasan bahwa tidak ada yang salah dengan postingan saya, sejalan dengan tidak ada yang salah dengan penulis tersebut. Saya lanjutkan dengan menyampaikan bahwa saya mengetahui stigma yang dilekatkan oleh sebagian orang -- sekali lagi saya gunakan kata sebagian untuk mengurangi tendensi -- kepada penulis tersebut, namun hal itu sudah terpatahkan setelah membaca beberapa karyanya. 

Saya harapkan sahabat saya ini merespon, bahkan menggali lebih dalam, karena jawaban pertama saya hanya merupakan mukaddimah. Masih banyak alasan kuat yang bisa saya sampaikan, bahkan ada referensipun bisa saya berikan, jika ia butuh. 

Namun semua itu urung tersampaikan karena tidak ada respon lebih lanjut. Mukaddimah saya dibalas dengan notifikasi kalau penjelasan saya sudah dibaca olehnya. Tanggapan yang saya harapkan bisa memicu diskusi, urung muncul.

Saya tentu saja bukan buzzer, bukan pula juru bicara dari penulis tersebut, sehingga sia-sia rasanya jika secara sukarela saya berpanjang lebar menjelaskan, apalagi jika tidak ada rasa ingin tahu dan pikiran terbuka yang siap untuk mengolah alasan-alasan yang saya kemukakan. Lagipula, obrolan tersebut hanya berada di tempat yang hanya saya dan dia yang tahu isinya. 

Mungkin konsekuensinya paling berat hanya saya mendapat stigma tertentu dari sahabat saya. Mudah-mudahan itupun tidak terjadi jika melihat obrolan selanjutnya yang terjadi beberapa hari kemudian.

"Diskusi nanggung" -- Saya beri nama diskusi nanggung untuk satu topik dimana ada dua atau lebih argumen berbeda namun tidak berlanjut tanpa penjelasan dari salah satu pihak sehingga diskusinya selesai begitu saja tanpa kejelasan -- seperti yang terjadi diatas juga sering saya amati terjadi di grup whatsapp (WA). 

Mungkin kalau grupnya besar dan berisi anggota yang tidak mengenal satu sama lain, hal ini dapat dimengerti. Apalagi jika anggotanya aktif sehingga topik -- topik baru bisa muncul dengan cepat. 

Namun di grup kecil yang anggotanya mengenal dan akrab satu sama lain (apalagi antar dua orang yanng cukup akrab seperti cerita diatas), "diskusi nanggung" ini terasa kurang elok. Bayangkan kalau diskusi tersebut terjadi saat bicara tatap muka.

Salah satu alasan utama orang "kabur" begitu saja dari sebuah diskusi adalah takut. Takut diskusi itu membawanya terjerumus ke topik yang lebih sensitif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun